- Dipicu Kasus Pencurian Kakao, Namun Pemilik Kebun Sudah Memaafkan
- Pelaku Masih Remaja & Putus Sekolah
- Bunda Wahyu Sayangkan Sikap Reaktif Kades Tapadaka Utara
SULAWESI UTARA – Ramli Hermawan (16 tahun) harus menahan sakit memar dan lebam di sekujur wajahnya akibat pukulan bogem mentah dari oknum warga. Remaja putus sekolah ini, kedapatan mencuri buah kakao di kebun milik salah satu warga Desa Tapadaka Utara, Kec. Dumoga Tenggara Kab. Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Rabu petang (23/10/2024).

Usai itu juga Ramli digiring ke rumah Sangadi (kepala desa) setempat untuk diamankan dan diproses secara hukum. Namun sangat disayangkan, tindakan main hakim sendiri oleh beberapa oknum warga masih sempat dilakukan hingga rumah Sangadi (kepala desa). Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, aparat setempat melakukan tindakan preventif dengan membawa Ramli ke polsek Mopuya untuk diamankan.
Pihak keluarga baru dikabari perihal insiden tersebut saat Ramli sudah berada di Polsek.Kejadian tersebut tentunya membuat shock pihak keluarga.Saat dihubungi oleh Jabar Publisher via panggilan WA, Fatmawati, perwakilan dari keluarga Ramli, menyesalkan kejadian yang menimpa keponakannya itu. Menurutnya, memang benar, secara hukum tindakan mencuri yang dilakukan keponakannya adalah perbuatan yang tidak dibenarkan dengan alasan apapun, Selasa (29/10/2024).
Namun, pihak keluarga pun siap menerima konsekwensi itu bahkan siap ganti rugi kepada pemilik kebun. Dan pemilik kebun akhirnya memaklumi juga memaafkan Ramli.Hanya saja, yang sangat disayangkan adalah tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh oknum warga hingga membuat Ramli babak belur. Menimbang pelaku adalah masih di bawah umur dan masih berkerabat dengan pemilik kebun yang dicuri buahnya itu.
“Sangat disayangkan, meskipun perbuatan keponakan saya itu salah namun perbuatan main hakim sendiri juga tidak dibenarkan, menimbang usianya masih di bawah umur dan perlu pembinaan saja, toh pemilik kebun sudah memaklumi dan memaafkan pelaku, karena masih kerabat kami juga,“ ucap Fatma.
Fatmawati juga menyesalkan tindakan reaktif dari Sangadi (Kades) Tapadaka Utara, Suharto Mundeng, yang menurutnya kurang bijaksana dalam mengatasi permasalahan yang terjadi antar warganya ini. Pasalnya saat kejadian, Ramli sempat di bawa ke rumah Sangadi, namun ia tidak memanggil untuk upaya mediasi keluarga maupun pemilik kebun, dan langsung membawanya ke polsek setempat.
Pihak keluarga Ramli hanya menghendaki keadilan untuk anak mereka, yang diperlakukan oleh oknum tak bertanggung jawab yang main hakim sendiri. “Kami hanya ingin kejelasan dari Sangadi untuk memberikan keterangan perihal siapa yang melakukan tindak main hakim sendiri itu, karena beliau kan jadi saksi juga saat warga membawa Ramli ke rumahnya, kami hanya meminta pertanggung jawaban mereka pelaku pemukulan terhadap Ramli dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan, sampai sekarang seolah ditutup-tutupi,” ujar perempuan yang biasa disapa Bunda Wahyu di akun media sosial tiktok ini dengan nada kecewa.
Karena itu, keluarga Ramli akan membawa perkara ini ke jalur hukum demi kejelasan dan keadilan terhadap anak mereka. “Kami akan menempuh jalur hukum demi mendapat keadilan untuk anak kami, ini juga sikap pembelaan terhadapnya menghadapi trauma pasca kejadian itu, anak kami memang salah dan kami terima itu. Bisa dibilang hanya tindak pidana ringan, kenakalan remaja biasa, kami bisa menerima. Namun tindakan main hakim sendiri oleh oknum terhadapnya dengan penganiayaan, tentu kami tidak bisa terima begitu saja,“ tegas Fatmawati.

Mengakhiri wawancara via telepon dengan Tim JP, Fatmawati dengan sikap tegas menyatakan akan membawa kasus ini hingga ke meja hijau supaya tidak ada lagi kejadian serupa di masa mendatang. Ia berharap, peristiwa seperti ini tidak terulang. Tindakan kekerasan apapun dan dimanapun tidak dibenarkan.
“Ada hukum positif, ada hukum adat, kearifan lokal, dan sejenisnya. Dimana ketika hukum adat ini sudah disepakati (sudah saling memaafkan), maka hukum positif bisa gugur. Dalam kasus Ramli, ketika memang pemilik kebun sudah memaklumi, harusnya tidak ada lagi proses sampai ke kepolisian. Ini yang terjadi malah lebih parah, keponakan saya yang masih di bawah umur dan sudah seperti anak saya sendiri, sampai babak belur begini,” ulas wanita yang pernah merantau di Nabire – Papua ini dengan nada mantap.
Ia berharap, kejadian-kejadian seperti ini harusnya menjadi perhatian serius semua pihak. Apalagi menurutnya yang tinggal di daerah terpencil seperti desanya, masih minim ruang edukasi dan advokasi hukum bagi anak dan remaja seusia Ramli. Kenakalan remaja yang terjadi di lingkungan mungkin disebabkan kurangnya pendampingan dan pembinaan baik dari keluarga maupun pihak-pihak terkait.
“Kami melakukan ini sekedar ikhtiar, kejadian-kejadian seperti ini kerap terjadi namun kurang terekspos. Saya berharap dengan sikap tegas kami menempuh jalur hukum ini, kami bisa mendapat keadilan serta tidak lagi terulang kejadian serupa di masa mendatang,” pungkas Bunda Wahyu. (tim jp)
Berita Terkait, Klik: Keluarga Ramli Ngadu ke DPPPA