BANDUNG – Rapat Koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian PUPR dan Pemprov Jawa Barat seyogianya bertujuan untuk “menekan” Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal ini Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat melalui Pusat Pengelolaan Pendapatan Daerah di Kota/Kabupaten se Jawa Barat untuk memungut Pajak Air Permukaan (PAP) kepada pelaku usaha. Kegiatan rakor tersebut terlaksana tahun lalu pada September 2021 sesuai rilis KPK.go.id, Senin (20/9/2021). Ironisnya, rakor hanyalah sekedar rakor, karena realisasi pada penerimaan Pajak Air Permukaan melalui Bapenda Jawa Barat pasca rakor tersebut, belum membuahkan hasil.
Setidaknya, hal tersebut terungkap dalam surat bernomor 550/KU.03.02.04/P1 yang ditandatangani Dr. H. Dedi Taufik, M.Si. Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat, tertanggal 15 Maret 2022. Kata Dedi, menjawab pertanyaan dari www.jabarpublisher.com bahwa pihaknya belum mendapat penambahan jumlah perusahaan pemanfaat air permukaan yang belum “sempurna” SIPPAnya untuk menyetorkan Pajak Air Permukaan kepada Negara melalui Pemerintah Provinsi Jawa Barat. “Belum ada,“ kata Dedi, (15/3).
Padahal, saat Rakor September 2021 itu, pihak Kementerian Keuangan RI telah menegaskan bahwa selama terpenuhinya persyaratan subyektif dan obyektif pajak, pemungutan pajak bisa dilakukan. “Apabila telah terdapat perbuatan hukum mengambil/memanfaatkan air permukaan di sumbernya oleh WP, maka terutang PAP tanpa melihat ada/tidaknya izin,” kata Fadliya, Kepala Subdirektorat Pengembangan Potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu Fadliya.
Bapenda Jabar yang saat Rakor itu berlangsung masih dikepalai Hening Widiatmoko memberikan pengakuan bahwa PAP tidak dipungut terutama karena masalah perizinan yang tidak lagi dikeluarkan oleh Dinas SDA. “Aturan yang berlaku saat ini Surat Izin Pemanfaatan/Pengusahaan Air Tanah (SIPPA) dari KemenPUPR. Hal ini berimbas pada pendapatan. Padahal banyak sekali potensi yang dapat dipungut dari perusahaan, tetapi karena belum memiliki SIPA maka tidak berani diterbitkan Nilai Perolehan Air (NPA) sebagai dasar penagihan pembayaran pajak,”kata Hening saat itu dan dimuat dalam banyak media online.
Tampaknya, hingga kini di era Dedi Taufik, Bapenda Jabar masih belum bisa move on dan berbenah dalam hal pemungutan Pajak Air Permukaan. “Dari dulu, Pusat Pengelolaan Pendapatan Daerah (P3D) di seluruh Jawa Barat sudah melakukan pendataan terhadap perusahaan pengambil dan/atau pemanfaat air permukaan terutama yang belum terpungut PAP-nya, lalu hasil pendataan tersebut dikoordinasi dengan dinas teknis untuk ditindaklanjuti, “kata Dedi melalui surat tertanggal 15/3/2022 itu.
Kata Dedi, Bapenda melalui P3D menetapkan PAP berdasarkan NPA yang diterbitkan oleh Dinas Teknis. Dengan maksud, bahwa penentuan besaran pajak terutangnya menjadi kewenangan pemerintah selaku fiskus khususnya Dinas Sumber Daya Air Jawa Barat sebagai dinas teknis. Alhasil, Bapenda pun tidak bisa menagih Pajak Air Permukaan karena tidak mengetahui Nilai Perolehan Air.
Tampaknya ini pun masih berseberangan dengan pendapat dari Inspektur Provinsi Jawa Barat Eni Rohyani yang diungkapkan dalam Rakor September 2021 itu. “Kami sudah pernah menyampaikan rekomendasi dalam LHP terdahulu kepada Pemprov Jawa Barat agar tidak mengaitkan pemberian izin sebagai syarat penerbitan NPA atau untuk menetapkan PAP. Bapenda harus tetap melaksanakan pemungutan termasuk juga kepada pelaku usaha yang tidak memiliki SIPPA, “tegas Eni Rohyani.
Rekomendasi Inspektorat Provinsi Jawa Barat nyata-nyata belum dijalankan oleh Bapenda Jawa Barat bersama dinas teknis penentu NPA dalam hal ini DSDA, membuat trend kenaikan pemungutan PAP tidak bergerak baik. Di sisi lain, pengusaha yang mengambil dan memanfaatkan air permukaan untuk tujuan komersil tampaknya tidak mau dan mungkin saja kesulitan mengurus SIPPAnya, sehingga mereka bebas mengkomersilkan air permukaan tanpa dipajak oleh Negara.
Ini tentu bertolak belakang dengan Rakor Bersama KPK di September 20221 itu. Asdatun Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Wahyudi menyampaikan bahwa lahirnya kewajiban pelaku usaha sejak dia menggunakan air, jika tidak, terdapat ancaman pidana. Datun dapat melakukan penegakan hukum tetapi harus ada permohonan dari yang membutuhkan. “Tindakan juga perlu didahului dengan keputusan pengadilan bahwa pihak tertentu memang salah sehingga badan usaha dapat diupayakan pembubaran manakala memang terbukti melakukan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi dirinya berharap itu opsi terakhir mengingat berbagai macam kepentingan yang perlu dipertimbangkan,” ujar Wahyudi. (des)