DUGAAN borok Ketua KPK Firli Bahuri saat masih menjadi Deputi Penindakan KPK diungkap salah satu penyidik KPK yang tak lolos uji Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Taktinya ngeri sampai tudingan membocorkan kasus. Firli kata Saut Situmorang pernah diusir keluar ruangan karena memotret saat ekspose kasus. Aksinya itu dinilai membahayakan penyidikan. Banyak laporan kasus yang tengah ditangani bocor sehingga OTT gagal dilakukan. Pegawai yang ikut rapat membahas kebocoran kasus, kini tak lulus TWK.
Kejadian itu terrjadi pada April 2019, di lantai 15 Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Saut Situmorang tiba-tiba naik pitam melihat kelakuan Firli Bahuri saat ekspose atau gelar perkara kasus korupsi . Saat itu, Firli sebagai Deputi Penindakan KPK diusir keluar dari ruangan karena melakukan tindakan yang melanggar. “Ketika itu saya marah banget,” kata Saut kepada IndonesiaLeaks, Kamis 17 Juni 2021.
Situasi rapat gelar perkara semakin tegang saat luapan amarah Wakil Ketua Komisioner KPK periode 2015-2019 itu memuncak. Bahkan, panggilan Saut terhadap Firli pada rapat itu seketika berubah. Saut biasanya memanggil Ketua KPK itu sebagai “Bapak Deputi”. Namun karena amarahnya memuncak, Saut memanggil Firli dengan sebutan “Anda”. “Saya selalu bicara dalam rapat itu kan di akhir. Saya hanya ingat kata-kata itu saja,” ujar Saut.
Karena peristiwa tersebut, Firli masuk catatan pimpinan. Agus Rahardjo dan keempat wakilnya yang memimpin KPK kala itu, mendesak agar Firli tak lagi mengulangi kesalahan yang sama. Kemarahan Saut bukan tanpa sebab. Menurut sumber IndonesiaLeaks, ketegangan dalam gelar perkara itu disebabkan Firli Bahuri memotret presentasi ekspose kasus menggunakan ponsel pintar.
Dua sumber lain IndonesiaLeaks membenarkan adanya peristiwa tersebut. Bahkan, mereka mengungkapkan mantan Kapolda Sumatera Selatan itu kerap memotret ruangan di KPK, memakai ponsel pribadi. Pada awal-awal menjabat Ketua KPK, Firli menyempatkan diri berkeliling Gedung Merah Putih, kantor baru KPK untuk memotret semua ruangan yang dikunjungi. “Dia berkunjung ke beberapa lantai dan foto bersama pegawai,” katanya. Selain itu, Firli juga diduga menyimpan dokumen-dokumen digital kasus maupun fotonya di gawai pribadi. Setiap dokumen tersimpan rapi dalam folder berbeda-beda.
Pada April 2018 – Juni 2019, KPK sempat dibuat heboh karena kasus korupsi yang tengah ditangani dibocorkan ke pihak lain, pada masa Firli Bahuri menjadi deputi penindakan lembaga antirasuah. Kebocoran kasus itu tak hanya sekali terjadi. Berdasarkan dokumen notula rapat petisi pegawai KPK, 16 April 2019, sedikitnya ada 26 kebocoran kasus yang tengah diselidiki sehingga operasi tangkap tangan alias OTT gagal di tengah jalan. Pada notula berjudul “Hentikan segala bentuk upaya menghambat penanganan kasus” yang diperoleh IndonesiaLeaks, terekam sejumlah keresahan yang dialami kepala satuan tugas atau kasatgas penyelidikan, penyidikan, dan penyidik KPK.
Dalam dokumen setebal 12 halaman itu, tertulis rapat dihadiri oleh lima pemimpin KPK periode 2015-2019 dan seluruh kasatgas yang terlibat dalam penanganan kasus korupsi.
Sejumlah substansi rapat yang tercatat dalam notula antara lain adalah, terdapat kebocoran 26 perkara korupsi pascapengajuan surat perintah penyidikan (sprindik), permintaan sprin penyelidikan, permohonan sprin penyadapan, dan pengajuan sprindik serta telaah.
Selain itu, ada juga keluhan tentang penundaan penandatanganan sprinlidik karena berbagai alasan, meski sudah disetujui pimpinan KPK.
Selanjutnya, terdapat keluhan ekspose kasus yang dibuat berlapis di tingkat deputi KPK. Bahkan, nama-nama terduga korupsi yang telah disetujui oleh pimpinan untuk dinaikkan statusnya menjadi tersangka, ditahan oleh deputi. Terakhir, adanya penolakan pengajuan penyadapan yang dilakukan oleh Deputi Bidang Penindakan KPK Firli Bahuri, meski pimpinan kala itu telah menyetujui dilakukan.
Catatan lain yang terdapat dalam notula yakni keluhan di tingkat penyidikan kasus. Terdapat tujuh permasalahan yang diidentifikasi.
Pertama, permohonan pencekalan terhadap orang-orang tertentu, tidak ditandatangani di tingkat kedeputian. Kedua, penghambatan pemanggilan saksi tertentu. Ketiga, ekspose dan LKPTK belum naik penyidikan lebih dari satu tahun. Keempat, eskpose kasus di tingkat kedeputian ditunda-tunda, sehingga pimpinan tidak mendapat informasi. Kelima, ada upaya mengganti satgas yang sebelumnya sudah menangani perkara tersebut. Keenam, adanya hambatan pemblokiran dan pencekalan. Ketujuh, adanya hambatan pengembangan perkara.
Sumber IndonesiaLeaks yang mengikuti rapat tersebut bercerita, permasalahan itu mengakibatkan banyak kasus korupsi yang belum diungkap. Bahkan, beberapa di antaranya berkaitan dengan dugaan kasus yang menyebut-nyebut mengarah ke Firli Bahuri. “Banyak kebocoran, enggak didukung,” ujar sumber Indonesialeks, Senin 14 Juni 2021.
Febri Diansyah yang saat itu menjabat sebagai juru bicara KPK mengakui hadir dalam rapat tersebut. Dia mengakui, rapat itu digelar karena terdapat sejumlah rencana OTT bocor, sehingga terduga korupsi gagal ditangkap. Bahkan ada kasus tim KPK justru terkena ‘OTT’ target yang hendak ditangkap. “Bahkan ada tim OTT yang tiba-tiba dihentikan mobilnya di jalan, saat turun ke daerah,” kata Febri kepada IndonesiaLeaks, Sabtu (19/6).
Kondisi tersebut, menurutnya menimbulkan keresahan di internal KPK. Sebab, para penyidik dan penyelidik sulit menjalankan tugasnya untuk menangkap pelaku korupsi. Saking kronisnya tingkat kebocoran kasus, kata Febri, tim OTT sampai-sampai harus menggunakan uang pribadi untuk menggar operasi menjerat koruptor agar rencananya tak diketahui pihak mana pun.
“Sampai ada inisiatif satgas untuk membiayai operasi mereka sendiri. Dan itu yang berhasil menjalankan OTT,” kata dia. Saut Situmorang juga mengakui ada dalam rapat tersebut. Ia bercerita, para kasatgas penyidik maupun penyelidik mengakui membuat petisi yang berujung rapat tersebut karena tingkat kebocoran rencana OTT mereka tak lagi bisa ditoleransi. Dia mengatakan, kebocoran kasus serta rencana OTT itu terekam dalam data operasi selama kepemimpinannya. Tahun 2016, KPK sukses melakukan 17 OTT. Setahun kemudian, 2017, ada 19 OTT. Kemudian, KPK ‘panen raya’ dengan 30 OTT pada 2018.
Tapi 2019, jumlah OTT drastis turun menjadi 21 kasus. Kondisi tersebut, kata Saut, juga menjadi sebab rapat bersama seluruh kasatgas digelar. “Dari 30 kasus itu jatuh banget ke bawah. Kan pendukung KPK tetap banyak, tapi kenapa ada penurunan? Common sense-nya di situ,” kata Saut. Saut mengungkapkan, para kasatgas dalam rapat itu bercerita ada indikasi-indikasi kebocoran kasus serta rencana OTT mengarah berasal dari kedeputian yang dipimpin Firli Bahuri. Namun, kata Saut, rapat tersebut belum memutuskan kesimpulan siapa yang membocorkan kasus-kasus di KPK.
“Penyidik yang lapor yakin ada indikasi itu,” ujar Saut. Agar tak lagi ada kebocoran, pemimpin KPK kala itu bersepakat mengkaji pembentukan tim dari Kedeputian Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) untuk mengawasi proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Saut mengakui, kala itu sempat mengusulkan pembentukan biro pengamanan KPK yang posisinya setara dengan biro lain. Tugasnya untuk mengamankan Gedung KPK, dokumen, hingga operasi. Menurut Saut, selama ini posisi biro keamanan masih di bawah biro umum. Akibatnya, proses pengamanan sulit dilakukan. “Saya inginnya ada biro pengamanan, agar levelnya dinaikkan setara deputi pengawasan internal,” kata Saut.
Belakangan, Saut baru menyadari orang-orang yang terlibat dalam rapat tersebut ternyata tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diselenggarakan KPK tahun 2021. Pegawai KPK yang tak lolos TWK, menurut Saut merupakan orang-beritegritas serta memunyai kemauan besar menangkap koruptor. “Hampir semua yang ada (dalam rapat) sekarang di situ (tak lulus TWK) semua seingat saya,” kata Saut. (red)