Home » Cirebon » Pandemi Corona, Banyak Penderita HIV/AIDS di Cirebon Jadi Malas Berobat

Pandemi Corona, Banyak Penderita HIV/AIDS di Cirebon Jadi Malas Berobat

CIREBON – Sampai Bulan Agustus kemarin, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Cirebon, baru bisa mendeteksi 177 penderita HIV/AIDS. Padahal bulan Agustus tahun lalu, penderita HIV/AIDS sudah masuk angka 200 orang. Demikian dikatakan Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Cirebon, Nanang Ruhyana, Minggu (13/9/2020) lewat sambungan telepon seluler.

Nanang menjelaskan, banyak faktor turunnya data Dinkes untuk penderita HIV/AID tahun sekarang, dibandingkan tahun lalu. Adanya covid-19, diduga menjadi salah satu penyebab, orang yang menderita HIV/AIDS, malas memeriksakan diri ke Rumah Sakit atau puskesmas. Adanya covid juga, membuat program Dinkes untuk pemeriksaan HIV/AIDS sempat terhenti beberapa bulan, dan baru bisa berjalan bulan Juli sampai Agustus kemarin.

“Dampak corona memang luar biasa. Program kami untuk pemeriksaan HIV/AIDS baru bisa berjalan dua bulan lalu. Sedangkan sejak Januari sampai Juni, program sempat terhenti. Tapi banyak juga penderita yang malas keluar rumah dan tidak memeriksakan diri mereka,” ungkap Nanang.

Menurut data lanjut Nanang, ternyata tren penyebaran penyakit mematikan ini masih didominasi oleh komunitas gay dan LGBT pada usia produktif. Namun Nanang enggan merinci dimana saja komunitas gay itu berada. Tapi untuk mendeteksi penyebaran, Nanang sudah menyiapkan LSM sebagai wadah mereka untuk bisa mendeteksi peningkatan HIV/AIDS. Merekalah yang membawa komunitas gay atau LGBT ke tempat pemeriksaan, termasuk rumah sakit atau puskesmas.

“Kasus peningkatan HIV/AIDS masih didominasi kalangan gay. Kami tidak tahu komunitas itu berada. Kan ada LSM yang mendeteksi mereka. Merekalah yang bergerak di komunitas sebagai populasi kunci,” ungkap Nanang.

Sementara langkah Dinkes untuk menekan semakin naiknya HIV/AIDS, dengan cara melakukan penyuluhan promotif. Disamping itu, ada pemeriksaan yang dikombinasikan. Misalnya, setiap orang yang terkena TBC harus di screning juga HIVnya. Sedangkan untuk ibu hamil, minimal sekali dalam masa kehamilan, harus diperiksa HIV nya.

“Khusus ibu hamil, kalau minimal dalam 16 minggu kehamilan terdeteksi HIV, maka begitu lahir bayinya bisa dinyatakan negatif HIV. Biasanya kalau sudah terdeteksi awal, maka 85 persen bayi yang lahir insya allah negatif,” tutur Nanang.

Nanang menambahkan, anggaran untuk penanggulangan HIV/AIDS saat ini dirasa masih kurang. Angka Rp 900 juta yang diterima tahun ini, sama sekali tidak bisa didistribusikan, mengingat anggarannya di recofusing untuk covid-19. Untuk tetap melakukan pelayanan, maka dibiayai dari BOK setiap puskesmas. Justru saat ini, puskesmaslah yang mengadakan penyuluhan.

“Idealnya anggaran pertahun untuk penanggulangan HIV/AIDS itu ada Rp1,5 milliar. Jadi semakin banyak anggaran maka sosialisasi kita untuk upaya pencegahan HIV/AIDS akan semakin sering. Tapi sampai sekarang kami belum mendapatkan data akurat, berapa jumlah yang meninggal. Masalahnya, mereka banyak yang meninggalnya dirumah, jadi sulit untuk mendeteksi,” tukasnya. (red/msh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*