KOTA CIREBON – Baru saja Jawa Barat memberlakukan new normal atau adaptasi kebiasaan baru (AKB), di Kota Cirebon justru terjadi penambahan kasus positif Covid-19 yang bertambah secara signifikan. Menurut info yang masuk ke dapur redaksi JP, hingga hari Kamis (2/7/2020) siang ini, ada 7 orang yang terkonfirmasi positif. Kondisi ini berbanding lurus dengan lonjakan kasus positif covid 19 secara nasional, dimana terjadi penambahan sebanyak 1.624 kasus hari ini yang merupakan kenaikan terbanyak selama covid 19 dihitung.
“Iya (di Kota Cirebon) terhitung hari ini ada 7 kasus baru, setelah dilakukan pemeriksaan tes swab. Adapun asal wilayah pasien yang positif Covid-19, lima orang diantaranya dalam satu keluarga di wilayah Pamitran, satu orang bertempat tinggal di Kebon Baru dan satu lagi di Setrayasa ungkap Kadinkes Kota Cirebon Edi Sugiarto.
Ia juga menegaskan semua kasus positif tujuh orang tersebut merupakan pelaku perjalanan. “Jadi warga Kota Cirebon yang positif Covid-19 ini tertular dari luar kota. Kita langsung melakukan tracing pada tetangga mereka yang terkonfirmasi positif. Guna mencegah atau meminimalisir penularan,” imbuhnya.
Kondisi serupa juga terjadi di wilayah Bogor Depok dan Bekasi (Bodebek) dimana Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19 Jawa Barat (Jabar) memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Proporsional di Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Depok, serta Kabupaten dan Kota Bekasi yang berakhir pada Kamis, 2 Juli 2020, selama 14 hari hingga Kamis, 16 Juli mendatang.
Menurut Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19 Jabar Ridwan Kamil, keputusan itu diambil berdasarkan data epidemiologi yang menyatakan bahwa wilayah Bodebek masih termasuk ke dalam Zona Kuning atau Level 3. “Kesimpulannya, PSBB Proporsional Bodebek diperpanjang 14 hari karena dari catatan epidemiologi kita, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kota Depok masih Zona Kuning,” ujar Kang Emil –sapaan Ridwan Kamildalam pernyataan resminya di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Rabu (1/7/20).
“Sehingga kita belum punya keyakinan untuk melakukan relaksasi, mengingat epidemiologi dengan wilayah DKI Jakarta masih dinamis, fluktuatif, dan belum bisa terprediksi,” tambahnya. (red)