KABAR mengejutkan datang dari buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Harun Masiku.
Sebagaimana diketahui Harun Masiku merupakan Politikus PDIP yang menjadi buron KPK karena kasus Pergantian Antar Waktu (PAW), Anggota DPR RI 2019-2024.
Saat masih menjadi buron, Harun Masiku dikabarkan telah meninggal dunia. Publik tengah dihebohkan dengan kasus suap yang melibatkan Politikus PDIP, Harun Masiku. (Channel Youtube Kompas TV)
Hal itu disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Antikorupsi (MAKI), Boyamin Saiman di acara Aiman Kompas TV pada Senin (11/5/2020). Boyamin menegaskan, soal meninggalnya Harun Masiku berdasarkan analisis.
“Tidak mendadak sih kalimatnya karena ini hanya berdasarkan sifatnya analisis saja,” ujar Bonyamin. Pasalnya, pihaknya mengaku bisa melacak koruptor kakap Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi.
Berbeda dengan kasus Harun Masiku. “Bahwa Nurhadi itu hampir tiap minggu, bahkan seminggu ada dua kali empat klaster informan datang ke saya untuk memberitahu tentang hartanya, transaksi keuangannya, bahkan ada yang memberikan foto rekeningnya, tapi saya enggak buka rekeningnya karena rahasia bank.” “Nah, untuk Harun Masiku ini sama sekali blank,” ujar Bonyamin.
Boyamin menyebutkan, penelusuran terakhir mengenai Harun Masiku sejak tiga hingga enam bulan lalu. Dari pelacakan itu, Harun Masiku sempat meminta uang rekannya untuk membeli tiket pesawat.
“Dan penelusuran saya yang paling jauh itu, itu hanya ketemu temannya Harun Masiku yang sudah tiga bulan, enam bulan yang lalu, yang berkaitan pernah saya katakan dimintai tiket pesawat.”
“Jadi prapradilan itu, karena kemudian berpikirnya KPK ini tidak mengembangkan bahwa Harun Masiku untuk tiket saja minta temannya, bahasa saya kan tidak kuat membeli,” jelasnya.
Boyamin menuturkan, Harun Masiku sebelum Virus Corona melanda sempat ke Palembang. “Nah, dari situlah kemudian sejauh yang saya lebih aktif gitu dibandingkan Harun Masiku untuk melacak-lacak misalnya juga ke Palembang, waktu masih belum Corona, itu juga blank karena aktifitas selama kampanye pun tidak banyak di sana,” ujarnya.
Namun, kini sudah tidak diketahui di mana keberadaan Harun Masiku sama sekali “Dan setelah kapalnya selesai juga enggak pernah ke Palembang lagi.” “Dan di Makassar juga enggak ada, di Jakarta juga enggak ada,” ungkapnya.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyindir Partai Gerindra saat membahas kasus Harun Masiku. Menurutnya sama dengan PDIP, Gerindra juga menempatkan orang-orang yang tidak kompeten untuk menduduki kursi di DPR.
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Refly seusai dia membahas bagaimana DPP PDIP berupaya begitu keras memasukkan Harun Masiku ke Senayan. Padahal, berdasarkan perolehan suara, Harun Masiku saat itu berada di urutan keenam.
Dikutip dari YouTube Refly Harun, Selasa (21/4/2020), Refly mulanya menjelaskan bahwa ia tidak bisa menjawab dimana Harun Masiku berada. “Saya tidak bisa menjawab lebih lanjut di mana Harun Masiku,” ujar Refly. Ia hanya bisa menjelaskan bagaimana DPP PDIP begitu keras kepala ingin memasukkan Harun Masiku ke Senayan.
Padahal saat itu perolehan suaranya lebih kecil dibandingkan Caleg PDIP lainnya yang berada di daerah pemilihan yang sama.
Kemudian Refly menyindir Gerindra yang menurutnya juga menempatkan orang-orang tidak kompeten untuk menempati kursi anggota dewan yang terhormat.
Dan ini sebenarnya partai-partai lain juga, Gerindra juga saya kritik misalnya,” ujar Refly. “Kenapa ini menarik orang-orang yang tidak berhak sesungguhnya untuk menduduki kursi (DPR),” lanjutnya.
Refly kemudian mengatakan bahwa PDIP berdalih alasan memperjuangkan Harun Masiku untuk menempati DPR sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57 P/HUM/2019. Namun menurutnya Putusan MA hanyalah sebuah rekomendasi. “Saya bisa berdebat, putusan Mahkamah Agung itu tidak eksplisit,” kata Refly.
“Memang fatwa MA mengatakan itu adalah hak partai politik, tapi fatwa tidak mengikat,” sambungnya. Refly menjelaskan bahwa putusan MA hanya memberikan sebuah pertimbangan mengenai Ius Constituendum, yakni hukum yang masih dicita-citakan.
Ia lalu menyinggung bahwa dirinya juga pernah berdepat dengan Kader PDIP Adian Napitupulu mengenai Putusan MA tersebut.
Kemudian Refly membacakan soal pendapat MA, pada Putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019.
Berikut bunyi pendapat MA pada putusan tersebut:
“Oleh karena itu, perolehan suara calon anggota legislatif yang meninggal dunia untuk Pemilihan Anggota DPR dan DPRD dengan perolehan suara terbanyak seharusnya menjadi kewenangan diskresi dari pimpinan partai politik untuk menentukan kader terbaik sebagai anggota legislatif yang akan menggantikan calon anggota legislatif yang meninggal dunia tersebut dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan,”
Refly menggaris bawahi kata seharusnya, dan perundang-undangan. Pertama Refly membahas kata seharusnya, ia menjelaskan bahwa kalimat seharusnya adalah saran, bukan suatu keharusan.
Selanjutnya Refly juga menyoroti bahwa MA menyarankan agar tetap sesuai dengan perundang-undangan, yang mana Pemilu Indonesia menganut sistem proporsional terbuka. “Apalagi dikatakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujar Refly.
“Undang-undangnya adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menganut sistem proporsional terbuka,” lanjutnya. Kemudian Refly lanjut menjelaskan bahwa MA juga menolak tuntutan PDIP kepada KPU untuk mengalokasikan suara caleg yang meninggal dunia sesuai pilihan piminan partai politik.
Berdasarkan pemaparannya tadi, Refly menjelaskan seharusnya suara terbanyak yang dimiliki oleh Caleg yang telah meninggal dunia, jatuh kepada pemilik suara terbanyak di urutan kedua, bukan Harun Masiku yang berada di urutan keenam.
“Menurut logika yang lurus adalah kursi akan jatuh pada suara terbanyak nomor dua,” kata Refly. “Itulah sebabnya mungkin karena saking ngototnya Harun Masiku, akhirnya terjebak untuk menyuap anggota KPU Wahyu Setiawan ,” tandasnya. (dbs/trb/kmp)