BANDUNG – Selasa (15/10/2019) DPRD Jabar menggelar Rapat Paripurna pembentukan Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Hasilnya, salah satu Anggota DPRD Jabar asal Karawang, Hj. Sri Rahayu Agustina, SH terpilih sebagai Anggota Komisi V.

Usai paripurna digelar, Jabar Publisher langsung mewawancarainya secara khusus terkait dua isu central yang kini sedang menghangat, yakni terkait rencana pembentukan Daerah Otonomi Baru (Pemekaran Cikampek) dan isu Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) yang diputuskan setiap akhir tahun.
“Soal pemekaran itu dikembalikan kepada pemda masing-masing. Jadi jangan membahas pro dan kontranya, karena saya bukan dalam posisi itu. Yang harus dibahas justru kesiapan dari pemda induknya bagaimana, kajian dari tim ahlinya seperti apa,” ungkap Istri Kepala Disnakertrans Karawang, H. Ahmad Suroto ini.
Sri Rahayu menambahkan, terkait pemekaran Cikampek, menurutnya bukan masalah yang sepele, jadi harus dipikirkan secara matang dari berbagai sisi, baik peluang maupun dampaknya secara komperhensif. “Hari ini saja, Karawang masih dihadapkan pada banyak persoalan. Pemekaran ini bukan hanya bicara setahun atau dua tahun ya, tetapi bisa sampai puluhan tahun ke depan. Bisa saja anak cucu kita nanti yang merasakannya. Jadi silahkan dikaji dulu, karena secara luas wilayah,dari Karawang Kota ke Cikampek itu kan hanya butuh waktu setengah jam kalau tidak macet. Jadi adanya pro dan kontra itu wajar,” jelas Anggota Komisi V yang mengaku siap bekerja maksimal ini.
Sedangkan terkait bahasan UMK dimana Karawang selalu menjadi yang tertinggi setiap tahunnya, Ia menegaskan bahwa sikapnya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku dan azas win-win solution antara pengusaha dan pekerja. “UMK Karawang memang menjadi yang tertinggi dan sesuai UU, kenaikan UMK yakni sebesar 7 persen dari UMK sekarang. Melihat fakta itu, otomatis UMK Karawang akan semakin tinggi dari tahun ke tahun. Tapi di sisi lain, pekerja juga jangan terlalu banyak menuntut, karena dampaknya makin tinggi UMK, makin banyak pula perusahaan yang gulung tikar,” tandas Sri Rahayu.
Selain upah yang terlampau tinggi, serbuan produk impor juga menjadi faktor utama penyebab banyak perusahaan gulung tikar. “Serbuan produk impor seperti kain-kain dari China yang bisa begitu bebas masuk ke Indonesia juga harus dipikirkan pemerintah. Karena daya jualnya jauh lebih murah dibandingkan dengan produk kita. Ini juga faktor yang membuat banyak perusahaan gulung tikar, bukan hanya di Karawang,” ulasnya.
Sementara itu, menyikapi wacana pemerataan upah di Jawa Barat yang dicetuskan Pemprov Jabar usai menggelar rapat dengan ILO beberapa bulan lalu, Ia menjawabnya diplomatis.
“Wacana sih sah-sah saja. Tapi masalahnya kelas atau item perusahaan yang bagaimana yang akan dilakukan pemerataan tersebut. Karena kalau semua UMK disama ratakan pasti akan menimbulkan gejolak yang besar. Misalnya UMK Karawang disamakan dengan Bandung, Tasik, dan sebagainya, atau kelas industri otomotif disamakan dengan tekstil, jelas itu tidak mungkin,” pungkas Sri Rahayu mengakhiri wawancara JP. (jay)