Home » Artikel » Mengintip “Bukit Penghidupan” Di Galian C Argasunya Kota Cirebon

Mengintip “Bukit Penghidupan” Di Galian C Argasunya Kota Cirebon

KOTA CIREBON – Makan korban lagi! Galian C yang berada di Kelurahan Argasunya kembali menelan korban jiwa baru-baru ini. Padahal Pemerintah Kota Cirebon telah melarang adanya aktivitas Galian C di wilayah Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat ini.

Namun demikan, peringatan demi peringatan yang diberikan oleh Pemkot Cirebon tak digubris oleh warga. Itu semua bukan tanpa alasan, karena mereka para warga yang mengais rezeki sebagai kuli di Argasunya tak bisa bisa bertahan hidup.

Tetap saja bagi mereka yang sudah menggantungkan hidup sebagai kuli di galian C, kembali bekerja untuk memenuhi kehidupan sehari-hari kelurganya. Bisa disebut “sulit untuk keluar dari zona nyaman”. Karena mereka tidak perlu repot-repot lagi mengeluarkan modal untuk bekerja atau berdagang. Cukup hanya menyiapkan tenaga, rinjing dan pacul, mereka sudah bisa memperoleh ratusan ribu dalam sehari.

Itu sebabnya mengapa disebut sulit keluar dari “zona nyaman”, karena pekerjaan di pertambangan pasir galian C ini menggiurkan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Asal mau mengeluarkan tenaga, mereka sudah cukup bisa menghidupi keluarganya dalam sehari-hari.
“Sekarang berdasarkan pengakuan kuli-kuli di Patok Besi, mereka bisa memperolah sehari Rp250.000 sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga mereka,” kata Dul Gani, warga Cadas Ngampar ketika berbincang dengan Jabarpubliser, Jumat (26/7).
Ketika pemerintah melarang adanya aktivitas galian C, tanpa memikirkan solusi atas dampak yang terjadi itu. Mengapa, lanjut pria yang memiliki dua kendaraan angkut pasir ini menerangkan bahwa ketika mereka (pemerintah-red) melarang maka harus memikirkan “kampung tengah” para warga yang mengais rezeki menjadi kuli tersebut.
“Bila melarang boleh saja. Di stop pun tidak apa-apa. Tetapi ya itu tadi. Mereka (Pemerintah-red) harus memikirkan solusi atas masalah tersebut,” kata dia.

Meski pun diakui dia, Pemerintah Kota Cirebon ketika itu telah memikirkan solusi untuk alih pekerjaan para warga yang menjadi kuli. Namun, bantuan yang diberikan pemerintah tidak tepat sasaran.
“Karena yang diberi bukan pelaku (kuli-red), tapi malah orang yang tidak bekerja sebagai kuli diberikan sapi dan kambing,” kata dia.

Alhasil, mereka kembali menjadi buruh di galian C ini. Karena menurut dia, masalah yang dihadapi para kuli ini berurusan dengan perut keluarganya, yang pada akhirnya mereka lebih memilih pekerjaan ini. Sekalipun bahaya mengancam ada di depan mereka.

Alih-alih pekerjaan, kata dia, sudah kerap dilakukan oleh para kuli. Namun demikian, mereka tidak bertahan lama yang pada akhirnya kembali menjadi kuli di galian C. Belum lagi, langkah mereka terhenti karena keterbatasan modal dan “sepi job” sebagai tukang bangunan.
“Saya ini sudah mencoba berulang kali untuk alih pekerjaan. Tetapi apa? Karena kebutuhan sehari-hari untuk keluarga yang kurang, akhirnya saya kembali menjadi kuli,” kata kepala kuli Cibogo, Syarif ketika berbincang dengan jabarpubliser.com.

Terlebih lagi, kata dia, saat ini adanya alat berat yang melakukan penataan tanah di wilayah Argasunya. Adanya beko, lanjut dia, membuat pemasukan warga ikut terbantu. “Sekarang ada beko, masyarakat bisa merasakan dampak. Ekonomi mereka ikut terbantu, yang tadinya menganggur sekarang bisa ikut bekerja. Apapun itu,” kata dia.

Diketahui, sejak tahun 2018-2019 ada aktivitas galian C dengan bantuan alat berat beko. Alat berat ini didatangkan untuk melakukan penataan yayasan yang berada di wilayah galian C perbatasan antara Cadas Ngampar, Cibogo, Sumur Loa dan Sumur Hoe.

Penataan yang dilakukan yayasan ini diiringi dengan aktivitas galian C. Jumlah beko yang didatangkan sebanyak delapan unit. Karena ada aktivitas itu, pihak kepolisian dari Polres Cirebon melakukan razia. Itu semua karena Pemkot Cirebon telah mengeluarkan peraturan.

Beko Vs Manual

Seiring waktu berjalan aktivitas galian C menggunakan alat berat sudah berhenti operasi di wilayah ini. Berdasarkan penyisiran di wilayah galian C, masih terdapat beberapa eskavator. Eskavator yang ada di galian C ini terlihat tidak melakukan operasi.

Berdasarkan pengakuan Syarif, terhentinya aktivitas alat berat ini karena beberapa waktu lalu pihak kepolisian melakukan razia. “Semua sudah berhenti, tidak ada aktivitas lagi. Sudah hampir 1 bulan,” kata dia.

Pro dan kontra adanya beko ini, lanjut dia, seharusnya disudahi. Karena dengan adanya beko semua pihak termasuk kuli mendapatkan “jatah” mingguan. “Bagi para kuli kan sudah mendapatkan jatah giliran perminggu. Misal minggu ini kuli di wilayah Cibogo, besoknya Patok Begi. Seterusnya seperti itu, bergilir. Jadi apa yang dirugikan,” kata dia.

Sementara kuli yang berada di Patok Besi menganggap adanya beko membuat pemasukan para kuli di wilayah ini berkurang drastis. Itu semua membuat para kuli yang ada di Patok Besi sepi pemasukan.

“Pendapatan yang tadinya dengan cara manual Rp200.000-Rp250.000 berkurang adanya alat berat. Jatah yang diberikan tidak cukup, karena hanya seminggu sekali. Kalau sehari-hari ada alat berat pendapatan hanya Rp70.000. Itu semua belum dipotong makan,” kata warga Surapandan yang juga mengadu nasib sebagai kuli.

Dia menuturkan, sudah dua minggu ini kembali bekerja sebagai kuli yang sebelumnya sempat berhenti karena sepi pendapatan. “Saya ketika adanya beko, libur memilih jadi laden bangunan. Karena adanya beko tidak sesuai pendapatanya, tidak nemu,” kata dia.
Dia berharap aktivitas alat berat ini disudahi sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh Pemkot Cirebon. Karena selain memiliki daya rusak yang cepat, juga merugikan para kuli yang sudah menggantungkan hidupnya di pekerjaan ini.

“Karena kalau dipikir satu atau dua tahun galian C pakai alat berat ini bakal selesai. Terus kami mau kemana lagi, kalau semua lahan sudah digarap?” kata dia. (wisnu/jp)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*