BICARA Cirebon yang dikenal sebagai Kota Santri, pasti dalam benak kita akan tertuju pada sejumlah Pondok Pesantren (Ponpes) ternama seperti Ponpes Buntet, Kempek, Ciwaringin, atau Gedongan yang kerap kali didatangi orang-orang penting seperti para pejabat, Gubernur, bahkan Presiden. Namun, tak banyak orang tahu bahwa di Desa Dompyong Kulon, Kecamatan Gebang, Kab Cirebon, tepatnya di Dusun 2 (Blok Campedak), ada sebuah Ponpes kharismatik bernama “Al-Shohwah” yang juga telah banyak melahirkan santri-santri hebat.

AULA SEDERHANA – Begini suasana di ruang utama Ponpes Al-Shohwah. “Aula sederhana” ini tiap hari dijadikan sebagai tempat shalat berjamaah para santrinya. (Foto: Adi JP)
Kepada tim Jabar Publisher, sang pendiri sekaligus pengasuh Ponpes Al-Shohwah KH. Makdor Amin Lc (45 tahun), mengawali kisahnya mendirikan Ponpes tersebut. Pria lulusan Al-Azhar Mesir ini, awalnya sempat kesulitan mencari kerja dan tidak tahu harus berbuat apa sepulangnya ke tanah air. Dalam kebuntuannya kala itu, sang kakak meminta Makdor, sapaan akrabnya, untuk mengajar ngaji anaknya, yang tiada lain adalah keponakannya sendiri. Alhasil, sang keponakan bernama Zaenudin (5 tahun) itu, mendapat hasil memuaskan. Berkat bimbingan Makdor, dalam waktu yang relatif cepat, keponakannya itu bisa baca Alquran.
Makdor mengatakan, meski termotivasi, langkah awalnya ini mendapat banyak tentangan dari warga sekitar. “Pada awalnya, masyarakat tidak memperbolehkan anak-anaknya belajar ngaji di rumah saya. Karena menurut mereka, ilmu yang saya ajarkan beda alirannya dan metode iqro yang saya pakai juga dianggap tidak seperti pada umumnya. Saat itu saya hanya diam, tidak menjawab apapun, tapi saya terus mengajar murid saya iqro yang dulu pernah saya pelajari sewaktu di Mesir,” katanya.
Kun Fayakun, ketika Allah berkehendak, maka terjadilah. Hanya dalam waktu 4 bulan, murid-murid Makdor bisa fasih membaca Alquran. Hingga akhirnya masyarakat pun pelahan-lahan mulai percaya. Bahkan sempat tersiar kabar yang cukup santer di masyarakat ‘Kalau ngaji di Pak Makdor cepet bisanya’. Alhasil, guru ngaji di sana mulai bertambah seiring jumlah murid yang semakin hari semakin banyak. “Akhirnya orang tua saya pindah ke rumah kakak saya karena kamar, dapur, dan juga teras dibongkar. Semua ruang disekat menjadi 5 kelas untuk sarana belajar ngaji,” terangnya.
Perjuangan Makdor di dunia pendidikan agama kala itu boleh dibilang sangat pedih, bahkan untuk membuat papan tulis saja sampai patungan. “Saat itu, untuk beli triplek saja tidak mampu, akhirnya kami meminta Rp 500 ke anak-anak untuk patungan. Waktu itu sangat berat, jadi solusinya tembok kelas sebagian dicat hitam sebagai ganti papan tulis. Dan itupun untuk beli kapur tulisnya saya juga bingung, karna tidak punya cukup uang. Akhirnya, saya meminta tolong ke anak-anak yang sekolah SD. Saya bilang ke mereka ‘Kalau ada kapur bekas yang sudah dibuang oleh guru, bawa ke sini. Lumayan buat nulis di tembok nanti pas kalian belajar ngaji’. Dan benar saja, pas anak-anak pulang sekolah Alhamdulillah mereka bawa kapur bekas itu. Mereka bilang: Nih pak haji kapurnya,” kenang Makdor sambil tak henti meneteskan air mata.

TAK TERBENDUNG – Air mata KH. Makdorul Amin, Pimpinan Ponpes Al-Shohwah (Kanan) tak terbendung saat mengingat perjuangan merintis ponpes di masa-masa sulit.
Seiring berjalannya waktu, murid Makdor semakin banyak dan kekurangan tempat, hingga memakai rumah saudaranya yang berada di depan rumahnya (tempat Ia mengajar ngaji). Kemudian Makdor meminta ijin membuka RA, TPQ, dan DTA dengan memasang plang. Setelah itu, muridnya makin banyak. Bahkan ada juga yang menginap, khususnya yang berasal dari luar daerah. Sejak itulah dibuka pesantren bernama “Al-Shohwah” yang berarti “Bangkit”. Lagi-lagi, nama ini pun sempat disoal oleh sebagian warga pasca dibukanya ponpes tersebut.
Dengan penuh kesabaran, KH. Makdor kemudian berinisiatif mengumpulkan warga sekitar dan menyerahkan sekolah serta pesantrennya kepada siapa saja yang mau menjadi pemimpin atau pengelolanya. Saat bermusyawarah, ada salah satu sesepuh yang mengatakan bahwa yang paling pas untuk mengelola adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. “Pondok Pesantren dan sekolah itu adalah punya Makdor. Jadi, mau dia namain apa, mau dibikin apa, terserah dia, karena dia yang mendirikannya,” kutip Makdor menirukan ucapan sesepuh itu. Ketok palu, akhirnya Makdor tetap melanjutkan perjuangannya membesarkan ponpes Al-Shohwah yang dirintisnya.
Kyai muda ini juga bercerita, kenapa menamai Ponpes tersebut dengan nama Al-Shohwah. Alasannya karena, konon pada jaman dulu, di Desa Dompyong Kulon Blok Campedak ini adalah Hutan Larangan. Yakni sebuah kawasan yang dihuni banyak makhluk ghaib, dimana tak seorangpun yang berani datang. Hingga datanglah seorang Kyai bernama KH. Ashari (sesepuh Ponpes Kempek) yang bisa menaklukan hutan itu. Kemudian dibuatlah pesantren pertama di Desa ini. Tapi tidak bertahan lama tutup, lalu muncul lagi pesantren yang sama, berulang-ulang sampai akhirnya berdirilah Al-Showah yang pendirinya merupakan generasi ke 4 dari keturunan KH. Ashari.
Selang 2 tahun, tepatnya pada 2002, pemuda setempat mengusulkan agar Al Shohwah dibuat gedung permanen. Kabar gembira itu merupakan buah kebaikan Makdor yang dikenal dekat dengan masyarakat khususnya para pemuda setempat. Gedung pertama berhasil dibangun dari partisipasi pemuda dan masyarakat. “Warga bergotong royong membuat batu bata sebanyak 25 ribu buah, lalu beli batu kali sebanyak 3 truk dan juga kayu. Pembangunan gedung ini tidak langsung jadi, karena keterbatasan dana. Tapi Alhamdulillah, selalu saja ada jalannya. Pada saat membutuhkan material, ada rekan yang punya toko material. Dia adalah rekan yang saya kenal saat melaksanakan ibadah haji. Singkatnya, akhirnya saya dapat pinjaman dari toko tersebut berupa material. Saya membayarnya dengan cara dicicil,” ujarnya.

PENGEMBANGAN – Tanah seluas 5.000 meter akan dijadikan pengembangan Ponpes Al-Shohwah. Besar harapan, pemerintah juga hamba Allah lainnya, bisa membantu mewujudkan mimpi mulia ini.
Tahun 2018 ini, Ponpes Al Shohwah sudah memiliki ratusan murid juga santri dari berbagai daerah di Indonesia. Terhitung ada 15 kelas dengan 34 guru (pengajar), terdiri dari RA, MTS, MA, TPQ, dan DTA. “Capaian ini hampir semuanya berkat partisipasi dari masyarakat. Dan kalau dihitung biayanya habis berapa, saya lupa. Karena pembangunanya sendiri bertahap, intinya kalau ada dana kita bangun,” tandas Makdor.
Ia memaparkan, tanah warisan dari keluarga yang sudah jadi bangunan kini sudah diwakafkan seluruhnya atas nama Yayasan Al Shohwah. Dan masih ada lahan kosong seluas 5.000 meter persegi untuk pengembangan ponpes. Lokasinya tepat dibelakang Ponpes Al Shohwah. “Insya Allah nunggu terkumpul dana sedikit demi sedikit akan kita bangun lagi,” harap Makdor.
Di akhir wawancara, KH. Makdor tak lupa berpesan agar kita selalu menghormati para guru. “Cintai dan hormatilah guru. Karena tanpa mereka entah kita jadi apa. Jangan sakiti hati mereka, karena pengorbanannya luar biasa dalam mendidik kita, bahkan seperti anak sendiri,” pungkasnya. (adi/jay/jp)