Jakarta – Polda Metro Jaya akhirnya merilis kasus penahanan dugaan mafia tanah beregu yang beraksi di wilayah Desa Segara Makmur Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi. Setelah hampir tiga pekan penahanan, kepada awak media Polisi menunjukkan sebelas terduga mafia tanah Bekasi dan delapan terduga lagi mafia tanah asal DKI Jakarta.
Total 19 orang terduga mafia tanah tersebut, kini sudah menjadi tahanan Polda Metro sejak pertengahan bulan Agustus lalu.
Pengembangan terhadap dugaan mafia tanah tersebut banyak melibatkan pejabat Pemerintahan Desa hingga mantan camat yang saat ini menjabat sebagai staf ahli Bupati.
Seperti keterangan Pers yang dilakukan oleh pihak Rabu (5/9/2018). Mereka ditangkap jajaran Sub-Direktorat Harta dan Benda Ditkrimum Polda Metro Jaya karena terbukti melakukan persekongkolan untuk menerbitkan akta tanah palsu.
“Ini adalah kasus pemalsuan dokumen, kelengkapan dokumen kepemilikan tanah, hingga akta jual beli, yang dilakukan oleh 11 orang tersangka. Para tersangka adalah oknum camat, kepala desa, kepala Dusun Segara Makmur, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi,” ujar Wadir Krimum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary, Rabu (5/9/2018) di Polda Metro Jaya.
Ade mengatakan, para pejabat kecamatan dan desa itu bersekongkol dengan sejumlah orang yang berperan sebagai pembeli sehingga seolah-olah terjadi transaksi jual beli tanah.
Menurut Ade, kasus itu pertama kali terungkap setelah seorang pemilik tanah berinisial L tahun 2014 mendapat informasi bahwa ada sekelompok orang yang mengaku sebagai pemilik tanahnya dengan warkah yang lengkap.
Selain surat tanah, para tersangka yang berperan sebagai pembeli juga memiliki girik. Girik merupakan bukti kepemilikan tanah yang disertai keterangan bahwa tanah tersebut tidak dalam kondisi sengketa dan surat kematian palsu sehingga warkah dinyatakan lengkap.
“Kemudian surat keterangan tidak sengketa, yang dibuat ditandatangani lengkap oleh kepala dusun hingga camat, kemudian keterangan waris palsu. Jadi warkah ini lengkap. Maka seolah-olah terjadi jual-beli. Nah akta jual-beli merupakan salah satu alasan kepemilikan tanah,” papar Ade.
Tak hanya itu, menurut Ade, dokumen-dokumen palsu tersebut tercatat secara resmi di kantor kecamatan. Karena merasa dirugikan, pemilik tanah yang asli melaporkan kasus itu ke polisi. Saat melapor, pemilik asli menunjukkan sertifikat asli yang menerangkan penguasaan atas tanah seluas 7.700 meter persegi dengan nilai saat ini Rp 23 miliar.
“Setelah diselidiki ternyata semua dokumen ini palsu. Mereka ternyata sudah membuat 163 akta jual-beli. Artinya masih ada 163 akta jual-beli lainnya yang masih kami kejar,” kata dia.
Ade menambahkan, saat ini polisi masih mengembangkan kasus itu untuk mencari kemungkinan adanya korban lainnya.
“Kami juga selidiki mereka sudah berapa lama karena mereka tergolong berani mempertaruhkan jabatannya. Karena sudah belasan tahun mereka menjadi kepala dusun, kepala desa dan Pak Camat ini masih aktif,” tambah Ade.(Fal)