JAKARTA – Di beberapa daerah di Indonesia, terdapat calon Kepala Daerah dari eks TNI maupun Polri yang ikut dalam kontestasi Pilkada serentak 2018. Pada Pilgub Jawa Barat 2018 misalnya, memunculkan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Mayor Jenderal TNI Purn Dr. H. TB Hasanudin, S.E., M.M. dan Irjen Pol Dr. Drs. H. Anton Charliyan, MPKN dari PDIP. Selain itu, ada juga Mayor Jenderal TNI Purn. Sudrajat, M.P.A. sebagai calon Gubernur Jawa Barat yang didukung Gerindra, PKS, dan PAN.
Sementara itu di Sumatera Utara, muncul Dr. J. R. Saragih, S.H., M.M. seorang purnawirawan perwira TNI AD mantan dan Subdenpom Purwakarta, yang saat ini menjadi Bupati Simalungun ke-2 kalinya, dicalonkan sebagai Gubernur Sumatera Utara 2018 didukung Demokrat, PKB, dan PKPI. Selain itu ada Letnan Jenderal TNI Purn. Edy Rahmayadi sebagai calon Gubernur Sumut 2018 didukung PKS, Gerindra, PAN, Nasdem, dan Golkar.
Setara Institute dalam keterangannya menyatakan saat ini ada kecemasan akan netralitas TNI Polri terkait banyaknya purnawirawan TNI Polri ikut Pilkada.
“Tetapi kecemasan akan netralitas harus dinetralisir dengan kinerja Bawaslu dan penegak hukum lainnya untuk memastikan institusi TNI Polri tidak beroperasi, “kata Hendardi, Ketua Setara Intitute dalam keterangannya yang diterima JP, Sabtu, 20/1/2018.
Ia melihat ada keberhasilan kepemimpimpinan TNI Polri dalam meraih kepercayaan public sehingga memiliki daya elektabilitas untuk berkontestasi. Menurutnya, secara normative anggota TNI/Polri memiliki hak sepanjang telah memenuhi persyaratan dengan pengunduran diri. “Untuk jangka panjang perlu dipikirkan mekanisme yang lebih terukur untuk memastikan ihwal netralitas ini, misalnya dengan masa jeda beberapa tahun bagi anggota Polri dan TNI, kapan bisa berkontes, “kata Hendardi.
Pada saat ini, Hendardi juga mengaku bahwa kepemimpinan pada dua institusi ini, jaminan itu (netralitas. Red) tampak dipegang teguh.
Sebelumnya, di Jakarta, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Mulyono mengatakan, pimpinan TNI selalu menekankan netralitas tentara terhadap segala bentuk politik praktis. TNI AD berencana membentuk pengawas khusus untuk memonitor dugaan penyimpangan netralitas anggotanya.
“Saya perintahkan Pangdam bentuk tim pengawal netralitas TNI yang bertugas melaksanakan pengawasan dan menerima laporan pengaduan masyarakat di lingkungan masing-masing berkaitan netralitas TNI AD dalam pesta demokrasi,” ujar Mulyono dalam amanat saat upacara sertijab di Mabes TNI AD, Jakarta, Senin (15/1/2018) lalu.
Sementara itu, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Martuani Sormin malah mengeluarkan 13 poin pedoman netralitas polisi pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. “Benar itu untuk internal Polri. Itu untuk menjamin netralitas anggota,” ujar Martuani kepada wartawan saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (16/1/2018).
Berikut ini 13 poin pedoman netralitas Polri pada ajang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019:
13 Pedoman Netralitas Polri : 1) Anggota Polri dilarang mendeklarasikan diri sebagai bakal calon kepala/wakil kepala daerah/caleg; 2) Dilarang menerima/meminta/mendistribusikan janji, hadiah, sumbangan atau bantuan dalam bentuk apapun dari pihak parpol, paslon dan tim sukses pada kegiatan Pemilu/Pemilukada; 3) Dilarang menggunakan/memasang/menyuruh orang lain untuk memasang atribut-atribut yang bertuliskan/bergambar parpol, caleg, dan paslon.
Pedoman ke-4 adalah Polri dilarang menghadiri, menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan deklarasi, rapat, kampanye, pertemuan partai politik kecuali di dalam melaksanakan pengamanan yang berdasarkan surat perintah tugas; 5) Dilarang mempromosikan, menanggapi dan menyebarluaskan gambar/foto bakal pasangan calon kepala/wakil kepala daerah baik melalui media massa, media online dan media sosial. 6) Dilarang melakukan foto bersama dengan bakal pasangan calon kepala/wakil kepala daerah/caleg.
Pada poin ke-7, Polri dilarang memberikan dukungan politik dan keberpihakan dalam bentuk apapun kepada calon kepala/wakil kepala daerah/caleg/tim sukses. Yang wajib dilaksanakan adalah memberikan pengamanan pada rangkaian kegiatan Pemilu/Pemilukada. 8) Dilarang menjadi pengurus/anggota tim sukses paslon/caleg di dalam Pemilu/Pemilukada. 9) Dilarang menggunakan kewenangan atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang dapat menguntungkan/merugikan kepentingan politik parpol maupun paslon/caleg di dalam kegiatan Pemilu/Pemilukada.
Selanjutnya pada poin ke-10, Polri dilarang memberikan fasilitas-fasilitas dinas maupun pribadi guna kepentingan parpol, caleg, paslon Pilkada, tim sukses dan paslon Presiden/Wapres pada masa kampanye. 11) Dilarang melakukan kampanye hitam (black campaign) terhadap paslon serta dilarang menganjurkan untuk menjadi golput.
12) Dilarang memberikan informasi kepada siapapun terkait dengan hasil penghitungan suara pada kegiatan pemungutan suara Pemilu/Pemilukada, dan 13) dilarang menjadi panitia umum Pemilu, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawasan Pemilu (Panwaslu) serta turut campur tangan di dalam menentukan dan menetapkan peserta Pemilu.
Baik institusi Polri maupun TNI, ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa TNI dan Polri akan bersikap netral dalam Pilkada serentak 2018 ini dan Pilpres 2019 mendatang. (des)