CIREBON – Puluhan petani tambak udang dan garam di Blok Semboja Karang Pandan, Desa Citemu, Kecamatan Mundu. Kabupaten Cirebon terancam terusir dari lahan seluas 18,5 hektare yang kini diklaim milik pribadi warga non pribumi. Padahal, mereka meyakini bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara.
Salah seorang penggarap lahan Abdurrahman (58 tahun) menceritakan, tanah yang kini telah diklaim seorang warga turunan Tiongkok yang tak dikenalnya itu awalnya tanah timbul. Sejak 1919 yang dulunya lahan tersebut hutan belantara, kemudian dikelola dan dimanfaatkan secara turun-temurun oleh keluarga dan puluhan masyarakat setempat lainnya.
Namun pada tahun 1986, warga dilarang mengelola lahan tersebut karena dengan alasan pemerintah pada saat itu akan membangun pelabuhan di lokasi tersebut. “Pada waktu itu kami pun menerima, karena kami sadar itu bukan tanah kami, tapi milik negara dan kami hanya menggarap memanfaatkan atau menghidupkan lahan tidur saja. Tapi selama empat tahun tak ada pelabuhan yang dibangun, tapi malah tambak udang milik Djarum pada tahun 1990,” kata Abdurrahman kepada wartawan, Rabu (1/11/2017).
Meski dirinya bersama puluhan warga penggarap lahan itu kecewa pada waktu itu, karena merasa dibodohi dan dibohongi, namun semuanya menerima dengan pasrah. Akan tetapi tambak udang yang dikelola Djarum pun kala itu hanya berjalan sampai 1995 saja, karena tidak tau entah bangkrut dan kemudian tidak diteruskan kembali.
Lahan pun dibiarkan menganggur hingga tahun 2000. Dengan kondisi lahan berawa dan ditumbuhi pepohon tinggi, warga pun kembali memanfaatkannya untuk tambak garam dan udang. “Tapi pada tahun 2013 adik saya dilaporkan ke Polres Cirebon Kota oleh orang China terkait perbuatan tidak menyenangkan karena memakai tanah tanpa izin. Namun tidak sampai diproses lebih lanjut. Dan kami pun tetap mengelola lahan ini, karena kami sampai sekarang pun yakin ini tanah negara, bukan hak miliki perorangan,” katanya.
Namun, lanjut dia, setengah bulan yang lalu, seseorang yang mengaku orang dekat dari yang mengklaim pemiliki tanah itu, datang ke desanya dan meminta agar warga tidak mengelola lahan tersebut. Karena tanah itu bukan milik mereka dengan menunjukan sertifikat yang menurut warga penggarap belum tentu asli atau tidaknya.
“Ya kalau pengakuan dari yang mengklaim milik pribadinya sih tanah ini luasnya 18,5 hektare dengan 10 sertifikat. Tapi kami ingin tahu copyan sertifikatnya. Jadi kami masih meragukan sertifikat itu. Karena yang saya tahu penggarap-penggarap dulu itu masih tetap meneruskan dan ini tanah negara,” ujarnya.
Hal serupa juga disampaikan penggarap lainnya, Jahwidi (58 tahun). Menurutnya, dengan adanya orang yang mengklaim tanah itu milik pribadi, ia bersama warga lainnya menginginkan agar ada penjelasan dari pemerintah atau BPN terkait status tanah tersebut. Sebab, warga sudah 17 tahun menggarap, tapi kenapa baru-baru sekarang ini dipermasalahan, tidak dari awal.
“Kata orang yang waktu ke sini itu sampai ngomong “pokoknya bapak-bapak harus angkat kaki dari tanah ini”. Tapi kami masih yakin bahwa tanah ini adalah tanah negara dan kami manfaatkan digarap kembali. Mereka hanya menggklaim saja. sebab selama ini pun tidak pernah ada pengukuran tanah, kenapa bisa muncul sertifikat yang katanya sampai 10 sertifikat,” katanya. (gfr)