CIREBON – Maraknya kasus pelayanan kesehatan di rumah sakit yang lebih mengedepankan orientasi bisnis bukan pelayanan yang manusiawi terhadap pasiennya hingga kini masih terus terjadi. Sebab sampai saat ini belum ada standar operasional pelayanan RS khususnya RS swasta baik di level Nasional maupun Daerah.
Ironisnya, cara pelayanan Rumah Sakit khususnya rumah sakit swasta masih mengedepankan orientasi bisnis dengan meminta uang muka kepada keluarga pasien.Rumah sakit notabene memang menjadi harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Pada dasarnya, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Untuk itu fasilitas pelayanan kesehatan, baik milik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Dijelaskan dalam Pasal 32 Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan UU Kesehatan. Ini artinya, rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menolak pasien yang dalam keadaan darurat serta wajib memberikan pelayanan untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Demikian pembahasan yang mencuat dalam Dialog Publik Kepatuhan Faskes dan RS Mitra BPJS Kesehatan yang digelar oleh MP BPJS KORCAB Cirebon di salah satu hotel diwilayah Kabupaten Cirebon, Kamis (12/10/2017).
Hadir dalam kegiatan tersebut Asisten Bupati Cirebon Bidang Administrasi Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Beni Sugriarsa, dirinya mewakili Bupati Cirebon menuturkan kepada rumah sakit baik itu mitra BPJS Kesehatan maupun bukan harus lebih mengutamakan pelayanan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif sesuai dengan standar pelayanan yang digariskan peraturan perundang-undangan. “Sebab jika ini dijalankan secara baik akan berdampak semakin meningkatnya kepercayaan dan kepuasan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas,” kata Beni.
Beni menegaskan dalam Pasal 29 Ayat 1 huruf (f) UU nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan terhadap pasien tidak mampu atau miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.
Sementara itu, Hery Susanto Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS) menyampaikan bahwa guna menghindari terus berulangnya kasus penanganan RS yang sering mengabaikan tindakan pelayanan kesehatan terhadap pasien RS maka pihaknya mendesak kepada pemerintah pusat maupun daerah agar segera menyusun standar pelayanan RS swasta secara nasional.
“Hal ini penting karena sekarang ini belum ada regulasi teknis itu. Tiap RS baik itu mitra BPJS kesehatan maupun bukan hanya mengacu standar pelayanannya masing-masing,” kata Hery Susanto.
Dalam regulasi yang dimaksud harus tertuang tentunya ketentuan yang memuat prosedur dan sanksi nya bagi RS, jika pihak RS itu bermasalah dikemudian hari. “Jika tidak ada standar tersebut, pasien sering menjadi korban peraturan RS yang lebih berorientasi bisnis bukan melayani dengan manusiawi,” imbuhnya.
MP BPJS setelah mengkaji secara seksama, menilai BPJS kesehatan selama ini telah membuat pola fait accompli (ketentuan yang harus diterima) bagi publik luas, sebagai badan hukum publik yang urusi JKN.
Dikatakan, BPJS Kesehatan menjadi sentral poin dalam mengatur pola hubungan antar lembaga yang menjadi mitranya. Kita semua seolah terjebak dalam mainstream yang dimainkan BPJS kesehatan. Apa selama ini BPJS Kesehatan telah memainkan format hubungan antar lembaga yang kondusif dan koordinatif antar stakeholder. Kelihatannya setelah dilakukan monitor tidak pernah sama sekali ada.
“Selama ini belum pernah dipertemukan secara terbuka antara masyarakat dari berbagai komponen dengan faskes atau RS mitra BPJS,” tegas Hery Susanto.
Hery Susanto menambahkan bahwa antar stakeholder seakan disekat satu sama lain, tidak pernah ada suatu pola informasi yang sinergis yang mendukung program JKN secara baik. Yang ada hanya lah dari oleh dan untuk BPJS kesehatan itu sendiri. BPJS Kesehatan jangan eksklusif dan cenderung menjadi sumber konflik. Menjadi beban negara karena selalu defisit hingga minta kenaikan iuran dari masyarakat.
“BPJS harus tegas menjalankan asas kepatuhan faskes dan RS mitranya, jangan diskriminatif terhadap warga,” ungkap Hery.
MP BPJS menilai bahwa dalam banyak kasus BPJS kesehatan sering tidak berpihak kepada masyarakat. Ia lebih cenderung berpihak kepada faskes dan RS sebagai sesama profesinya. Mereka lebih takut kehilangan hubungan kemitraan ketimbang dengan masyarakat. Sebuah sindikasi kongkalikong yang cenderung mendekati nyata. Uang Rakjat disikat, uang negara diembat. BPJS kesehatan sumber konflik JKN makin mendekati realitas.
Ditempat yang sama, Deputi III Kemenko PMK RI, Sigit Priyohutomo yang juga sekaligus Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) RI mengatakan bahwa ia hadir dalam acara ini karena perintah khusus dari Menko PMK RI untuk mengakomodir permasalahan terkait program JKN di wilayah Cirebon sekaligus menyelesaikan masalah yang akan muncul di kemudian hari. Asas kepatuhan faskes dan RS harus dijalankan sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Jika ada faskes dan RS yang tidak patuh melaksanakan peran dan fungsi dalam pelayanan kesehatan maka perlu direkomendasikan untuk dicabut ijinnya bahkan harus ditutup.
“Saat ini BPJS Kesehatan sudah mempunyai 180 juta peserta. Diantaranya terdapat 92 juta orang sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Mereka disubsidi sebesar Rp 23 ribu/bulan selama setahun. Untuk itu pemerintah pusat membayarkan Rp 25.4 trilyun untuk PBI BPJS kesehatan,” jelasnya.
Sigit menambahkan, pemerintah daerah harus merekrut warganya tidak hanya menjadi peserta PBI tapi juga menjadi peserta BPJS secara mandiri. DJSN RI ke depannya akan menjadi mitra kerja DPR RI. RS yang menjadi mitra BPJS kesehatan harus RS yang berkualitas dan memenuhi syarat ketentuan menjadi mitra BPJS. Kedepannya, diharapkan tidak ada lagi faskes dan RS yang diskriminatif terhadap peserta BPJS.
DJSN RI akan mengusulkan penolakan dan memangkas anggaran BPJS Kesehatan jika ternyata dilapangan tidak ada perbaikan pelayanan.
“Momen ini diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah untuk perbaikan kinerja pelayanan BPJS kesehatan dan seluruh faskes maupun RS mitra BPJS. Pihaknya mengakui masih banyak masalah,” pungkas Sigit.
Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Eni Suhaeni mengatakan, di Kabupaten Cirebon terdapat 2 RSUD, 6 RS milik swasta, dan 3 RS khusus. Ia mendukung pentingnya tindak lanjut dari forum dialog ini khususnya bagi faskes dan RS agar mematuhi peraturan dan ketentuan sebagai mitra BPJS kesehatan. “Faskes dan RS mesti mengedepankan pelayanan ketimbang biaya pelayanan nya,” singkat Eni. (gfr)