Oleh: Supriyatno Yudi *)
Ini kejadian unik. Baru pertama dalam sejarah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) – yang saya tahu. Ada orang mengaku ‘Anak Biologis HMI.’ Istilah yang unik. Pengakuan yang ajaib. Cukup menggelitik. Siapa orang yang mengaku-ngaku itu? Ridwan Kamil (RK).
Pengakuan RK itu meluncur dalam deklarasi dukungan sebagai Cagub Jabar di Subang pada 23 April 2017. Sebenarnya iti bukan kali pertama. Di twitter pada 5 Februari 2016, ia pun melakukan hal yang sama: mengaku anak biologis HMI, karena kedua orang tuanya aktivis HMI. Jadi, bukan karena dia sendiri sebagai kader HMI.
Pengakuan RK ini mengindikasikan beberapa kemungkinan: Pertama, melecehkan dan memecah belah HMI; Kedua, penyesatan logika; dan Ketiga, krisis identitas.
Melecehkan HMI
Pernyataan RK di Subang dan di laman twitter berbunyi: “Saya anak biologis dari HMI. Karena kedua orang tua saya aktivis HMI. Kalau enggak ada HMI, RK enggak ada.”
Sebagai sebuah organisasi resmi, sebagaimana juga organisasi lainnya, HMI punya mekanisme yang ketat dalam jenjang keanggotaan. Tidak dengan seenaknya seseorang mengaku anggota HMI. Dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) HMI hanya mengenal tiga jenis keanggotaan: anggota muda, anggota biasa, dan anggota kehormatan.
Tidak ada istilah ‘anak biologis dari HMI’ dalam AD/ART HMI. Jadi pernyataan itu bisa bermakna pelecehan organisasi. Saya pribadi, yang pernah mengikuti jenjang pengkaderan dan keanggotaan HMI, merasa risih dengan pengakuan itu. Kok, sebegitu gampang orang mengaku-ngaku tanpa etika.
Kalau pernyataan ini dibuat dalam rangka kontestasi Pilgub Jabar, demi meraih suara aktivis HMI, juga terlalu gegabah. Mengingat salah satu bakal calon gubernur yang juga disebut-sebut adalah Dedi Mulyadi, Mantan Ketua HMI Cabang Purwakarta.
Pernyataan ini bisa berpotensi memprovokasi memecah belah HMI. Tapi, tenang saja HMI cukup dewasa dalam menghadapi provokasi semacam ini. Lagipula sifat HMI yang independen tak akan goyah termakan rayuan murahan seperti ini. Selain itu, kader HMI juga tersebar hampir di semua partai politik. Jadi, tidak mudah menarik gerbong HMI, meski oleh mantan ketua cabang sekalipun. Apalagi cuma orang yang mengaku-ngaku.
Sesat dan Menyesatkan
Pernyataan RK ini secara logika sesat (fallacy logic) dan menyesatkan. Mari kita bedah perkalimat pernyataan itu.
Premis 1 : Karena kedua orang tua saya aktivis HMI.
Kesimpulan 1 : Saya anak biologis dari HMI.
Premis 2 : Kalau tidak ada HMI.
Kesimpulan 2 : RK tidak ada.
Antara premis 1 dan kesimpulan 1 ini mengandung logika yang sesat. Coba kalau kata HMI itu diganti dengan kata lain yang berkonotasi negatif, tentu tidak akan muncul kesimpulan 1. Yang muncul pasti: “orang tua ya orang tua, anak ya anak, kejelekan orang tua tidak berarti kejelekan anak.” Maka kalimat yang benar di kesimpulan 1, harusnya: “Saya anak biologis dari aktivis (kader) HMI.”
Kesimpulan 1 menjadi premis 1a untuk kesimpulan 2. Di kesimpulan dua ini indikasi menyesatkan semakin kuat. Kalau dibuat dalam satu kalimat menjadi: ”Keberadaan RK tergantung dari keberadaan HMI” atau “HMI ada maka RK ada”.
Mari kita lihat latar belakang kelahiran HMI yang dibidani Lafran Pane. Lafran menilai kondisi mahasiswa muslim kala itu cukup memprihatinkan, terutama dari sisi pemahaman keagamaan. Maka, diperlukan sebuah organisasi yang bisa menjadi solusi bagi mahasiswa dan bangsa.
Coba kalau pemahaman mahasiswa saat itu dinilai Lafran sudah bagus, maka tidak akan lahir HMI. Bila ini jadi premis, dan digabungkan dengan pernyataan RK akan didapat kesimpulan: Mahasiswa sudah memahami Islam, maka tidak lahir HMI, dan tidak ada RK. Atau, kalau dibalik, RK ada karena mahasiwa yang belum paham Islam. Ini tentu sesat dan menyesatkan publik.
Ketika sebuah nalar dimulai dengan premis yang sesat, tentu akan melahirkan turunan-turunan kesimpulan yang menyesatkan.
Krisis Identitas
Pernyataan RK itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari rentetan kejadian-kejadian lainnya. Terlihat sekali bahwa RK ingin mencitrakan diri dekat dengan Islam, pasca ditinggalkan fans yang kecewa akibat deklarasi cagub. Mulai dari pamer foto ibadah umroh, mengaku cucu kiai, dan mengubah logo dari jambul ke kopiah. Sesuatu yang wajar dalam perhelatan politik. Sah-sah saja.
Tapi, kalau dalam rangka itu, sampai mengaku anak biologis HMI, tentu terlalu berlebihan. Apalagi keturunan seorang ulama ataupun aktivis itu tidak menjamin kadar iman seseorang. Bayangkan anak nabi saja (Nabi Nuh) diazab sama Allah.
Jadi, mohon maaf, mengaku anak biologis HMI itu terkesan sangat ngotot dan memaksa agar citra Islam menempel dalam diri RK. Sekali lagi, publik sudah cerdas menilai pencitraan semacam itu.
Betul bahwa RK lahir dari pasangan kader HMI, dan betul juga bahwa RK cucu seorang ulama. Tentu saya sangat menghormati jasa para ulama dan senior di HMI. Tapi, eksploitasi berlebihan dan terkesan ngotot, justru merendahkan jasa mereka. Apalagi dari sisi politik akan semakin membuat publik balik kanan.
Sama persis dengan Ahok yang terlalu mengeksploitasi bahwa dirinya diangkat anak oleh keluarga muslim, pada saat pilkada DKI. Publik tidak mempan dengan drama itu.
Dalam beberapa hal, pola komunikasi Ahok dan RK dalam membangun citra dekat dengan Islam ini ada kemiripan. Kalau berkaca dari Ahok, ada yang belum didapat dari RK, yakni julukan sunan. Kalau Ahok disebut Sunan Kalijodo, akankah RK juga mendapat julukan Sunan Kali Citepus?
Kalau memang langkah itu akan ditempuh, sebaiknya kali Citepus dibebaskan dulu dari sampah, segera! Kalau tidak, warga Kabupaten Bandung banyak yang protes. Mereka sudah jengkel dengan sampah kiriman dari Kota Bandung.
Satu lagi, langkah pencitraan yang bisa diambil, dan ini akan lebih dahsyat, kalau RK mengaku keturunan nabi. Beneran loh…. Ini pasti akan dengan singkat mendekatkan citra diri dengan keislaman. Ya keturunan nabi. Keturunan Nabi Adam. Kereen kan?
*) Praktisi Komunikasi Publik, Pernah Aktif di HMI Cabang Bulaksumur | www.supriyatnoyudi.com