CIREBON -Sengketa lahan PLTU II di Desa Kanciwetan Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon, makin hebat. Warga dan pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saling klaim kepemilikan lahan. Hal itu membuat Badan Pertanahan Nasional (BPN) turun ke lapangan melakukan ukur ulang dan mencari dokumen fakta kepemilikan lahan, Rabu (3/8/2016).
Informasi yang diperoleh “JP” di lokasi, pihak BPN melakukan pengukuran ulang atas dua bidang tanah yang diklaim warga atas nama pemilik almarhum Juri seluas 3.200 meter dan atas nama Abdul Rojak seluas 1.800 meter. Salah satu bidang tanah, rentetan kepemilikan tanah berawal dari salah seorang warga setempat, Jana yang memiliki lahan seluas 5.300 meter.
Pada tahun 1985 Jana menjual tanah kepada Made Tiara yang tidak diketahui berapa luas tanah yang dijualnya dengan bukti leter C, dan beberapa waktu kemudian Jana juga menjual kepada Abdul Rojak seluas 1.800 meter dengan bukti SPPT, dari kedua tangan tersebut, Made Tiara menjual kepada KLHK seluas 5.300 meter sementara Abdul Rojak membuatkan Akta Jual Beli (AJB) atas namanya. Sehingga ketika lahannya dipergunakan lokasi pembvangunan PLTU tahap 2 dan tidak ada ganti rugi atas lahannya tersebut membuat Abdul Rojak menuntut.
Hal serupa juga dialami almarhum Juri yang meninggal sebulan yang lalu, atas sengketa tersebut PT. CEPR mengutus BPN untuk mencari fakta dilapangan atas kemepilikan tersebut, jika memang diketahui milik warga maka akan diselesaikan oleh pihak PT. CEPR, tetapi jika memang dimenangkan milik KLHK maka sudah tidak ada wewenang lagi mempersoalkan hal tersebu
“Kedatangan BPN ke lapangan untuk melakukan pengukuran ulang berkaitan verifikasi anatara dokumen yang dimiliki KLHK dan dokumen milik warga. BPN mengkaji lapangan mendata, menggambar, dan dipetakan untuk bukti sebuah kepemilikan atas lahan, dengan verifikasi data dan pengukuran ulang tersebut BPN yang bisa mengetahui karena tumpang tindihnya dokumen dan tumpang tindihnya batas areal,” ujar Kuasa hukum warga, H. Maulana Kamal.
“Dokumen warga bentuknya AJB sementara KLHK bentuknya SPH yang tidak ada split batas lahan, BPN melakukan kajian fakta dilapangan, disini BPN netral tidak melakukan tindakan sebelah, kami yakin bukti kepemilikan warga sah, dan apapun Pendapat KLHK silahkan, kita tunggu nanti hasilnya,“ tambahnya.
Bagian pengukuran BPN, Aris Adiyanto menjelaskan, saat ini baru dilakukan pengukuran sehingga belum bisa mengambil sikap, nanti setelah gambarnya sudah jadi akan diserahkan ke PT. CEPR (PLTU tahap 2)untuk bahan mediasi untuk penyelesaian persolan tersebut.
“Nanti setelah kita selesai hasil gambarnya kita serahkan sebagai bahan mediasi, karena pihak PLTU juga mnedesak, paling lambat 12 hari kerja sudah bisa selesai dan akan kita serahkan,“ terangnya.
Sementara itu Humas PT. CEPR, Petrus mengatakan, adanya saling klaim antara pihak KLHK dan warga membuat PT. CEPR mencoba merangkul dan mengundang BPN untuk mengklarifikasi, menurutnya, pada dasarnya pihak PT. CEPR tdak akan pernah mengambil hak warga walaupun sejengkal sepanjang dinyatakan sah maka akansegera diselesaikan hak mereka, tetapi jika tidak maka hal itu bukan menjadi kewenangannya karena PT. CEPR hanya mengetahui itu milik KLHK.
“Lahan sebanyak 7 bidanga yang belum dibayar ada didalam wood center sudah dibayar PT. Maksimus, sehingga kita hanya melakukan sewa kontrak lahan selama 40 tahun yang dilakukan dengan Kementrian Keuangan RI,” katanya. (crd)