BANDUNG BARAT – Minggu 24 April 2016, bertempat di Green Forest Resort, Kec Parongpong, Kab Bandung Barat, berkumpul ratusan keluarga penyandang disabilitas untuk mengikuti kegiatan rutin tahunan yang digelar Yayasan Percik Insani.Acara tersebut didukung Komisi Keadilan Keuskupan Agung Kota Bandung yang sudah berlangsung selama puluhan tahun setiap peringatan Hari Autisme Sedunia. Diana Sofian, salah seorang pendiri parent support group Percik Insani menuturkan, kegiatan ini penting dilakukan untuk saling menguatkan antar keluarga dalam melatih kemandirian anak penyandang disabilitas.
Percik Insani sendiri adalah komunitas yang memiliki potensi besar di Jawa Barat sebagai penelitian keilmuan Autisme yang hingga saat ini masih belum diketahui penyebabnya. Yayasan Percik Insani memiliki filosofi memberi percikan api semangat kecil kepada seluruh orang tua penyandang disabilitas dengan visi “Bersama-sama memberikan perhatian dan kasih kepada sesama manusia yang ‘berkebutuhan khusus’ dengan cara mengembangkan potensi individu berkebutuhan khusus menjadi manusia yang seutuhnya.
Adapun misinya yakni “Menyediakan program pendidikan, seperti: terapi, pelatihan kemandirian, pelatihan keterampilan (skill center) dan sosialisasi individu berkebutuhan khusus, Menggali potensi-potensi keterampilan yang sesuai dengan karakteristik individu berkebutuhan, khusus Menyediakan lapangan kerja maupun mencarikan peluang kerja yang sesuai untuk individu berkebutuhan khusus.
Memberikan ruang komunitas bagi keluarga anak berkebutuhan khusus dan pemerhati sebagai suatu kebersamaan dalam berbagai pengalaman, ilmu dan peran. Memberikan pendidikan kepada masyarakat agar bisa memahami dan menerima keberadaan individu berkebutuhan khusus dengan segala kekhususannya, dan menerima/menghargai usaha dan hasil karya mereka.Membangun jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga atau individu untuk mengembangkan edukasi, publikasi, advokasi, dan skill center.
Program-program rehabilitasi berbasis masyarakat (RBM) yang mencoba memastikan bahwa penyandang disabilitas memiliki akses yang sama pada pelayanan dan kesempatan terkait kesehatan, pendidikan, dan penghidupan adalah contoh dari sebuah intervensi yang dirancang dan dijalankan oleh masyarakat secara mandiri dengan partisipasi aktif dari keluarga, anak dan orang dewasa penyandang disabilitas.
Rehabilitasi Berbasis Masyarakat bisa efektif dalam menangani berbagai masalah perampasan, seperti yang dihadapi oleh anak-anak penyandang disabilitas yang tinggal di pedesaan dan masyarakat suku asli. Dalam sebuah inisiatif pendampingan untuk anak-anak suku asli di Oaxaca, di Meksiko, misalnya, tim RBM dari Centre for Research and Post-Secondary Studies in Social Anthropology, bekerja sama dengan UNICEF, mempromosikan pembentukan jejaring dukungan lokal di kalangan keluarga anak-anak penyandang disabilitas.
Selama tiga tahun (2007-2010), inisiatif itu melihat adanya peningkatan penerimaan anak penyandang disabilitas oleh keluarga mereka, masyarakat, peningkatan pemberian pelayanan sosial, pembuatan akses kursi roda di tempat-tempat umum, pengaturan pelayanan gratis dari negara dan rumah sakit federal, dan 32 pendaftaran anak penyandang disabilitas di sekolah-sekolah utama.
Pendekatan inklusif dibangun berdasarkan aksesibilitas, dengan tujuan untuk membuat arus utama bisa berlaku untuk semua orang bukannya menciptakan sistem yang paralel. Sebuah lingkungan yang bisa diakses adalah penting jika anak-anak penyandang disabilitas akan menikmati hak-hak mereka untuk berpartisipasi di masyarakat dan untuk mendapatkan kesempatan mewujudkan seluruh potensi mereka.
Jadi, misalnya, anak penyandang disabilitas perlu akses pada seluruh sekolah untuk mendapatkan manfaat maksimum dari pendidikan. Anak-anak yang mendapatkan pendidikan bersama dengan rekan-rekan mereka punya kesempatan lebih banyak untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif dan menjadi terintegrasi dalam kehidupan masyarakat mereka.
Tergantung dari jenis disabilitas, seorang anak mungkin membutuhkan alat bantu (misalnya, prosthesis) atau pelayanan (seperti penerjemah bahasa tanda) untuk bisa berfungsi secara penuh dalam berbagai aspek kehidupan. Namun menurut WHO, di negara-negara berpenghasilan rendah hanya 5-15% orang yang memerlukan teknologi alat bantu yang bisa mendapatkannya. Biaya dari teknologi yang seperti itu bisa menjadi penghalang, terutama untuk anak-anak, yang harus mengganti atau menyesuaikan peralatan mereka setelah mereka tumbuh dewasa.
Akses pada teknologi alat bantu itu dan dukungan khusus lainnya yang diperlukan anak untuk memudahkan interaksi dan partisipasi mereka haruslah gratis dan tersedia untuk semuanya. Oleh sebab itu, cukup masuk akal untuk mengintegrasikan pertimbangan aksesibilitas ke dalam proyek-proyek pada tahap awal dari proses perencanaan, Aksesibilitas juga harus menjadi pertimbangan ketika mendanai proyek-proyek pembangunan.
Pemerintah harus mulai memiliki AWARENESS yang TINGGI, karena UU Disabilitas telah disahkan oleh Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bulan April tahun ini. Pihak dari kementerian yang terlibat di antaranya: Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi, serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Selain itu, diwakili pula oleh Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Ketenagakerjaan, serta Kementerian Pariwisata. Jumlah seluruh perwakilan dari unsur pemerintah berjumlah 33 lembaga. Sudah seharusnya masalah rehabilitasi masyarakat ini menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa tanpa terkecuali sebagai program Ketahanan Keluarga Negara Kesatuan Republik Indonesia. (rls/jp)
harus didukung oleh semua pihak