GARUT – Kebijakan sertifikasi tahun 2016 yang menggunakan jalur PPG (pendidikan profesi guru) dinilai oleh Ketua PGRI Kecamatan Banyuresmi Garut sebagai kezaliman pemerintah terhadap guru. Sebab, proses sertifikasi sebagai proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru melalui program pendidikan profesi sebagaimana secara eksplisit diatur dalam pasal 13 UU Nomor 14/2005 tentang Gurdos dan Peraturan Pemerintah No. 74/2008 tentang guru dinyatakan secara jelas harus dibiayai pemerintah dan pemerintah daerah.
“yang terjadi hari ini, peserta PPG harus menanggung biaya yang cukup mencengangkan yaitu sebesar Rp. 15 Juta untuk guru SD. Sedangkan untuk guru SMK kami mendengar lebih mahal lagi. Kebijakan ini jelas bukan saja memberatkan dan merugikan guru, tetapi sudah menzalimi. Karena berarti pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan tidak konsisten dan melanggar peraturan perundang-undangan”, tegas Ma’mun.
Terkait dengan pola yang ditetapkan, baik PLPG maupun PPG dengan menggunakan batasan TMT pengangkatan tahun 2005, bagi PGRI Kecamatan Banyuresmi tidak terlalu menjadi masalah meskipun hal tersebut juga sebenarnya juga inkonsistensi pemerintah. Sebab, semua guru yang sudah bertugas tanpa memandang TMT seharusnya tidak bisa mengikuti PPG, melainkan PLPG. Berdasarkan Permendiknas nomor 11/2011 pola sertifikasi memang menggunakan empat jalur, yaitu portopolio, pemberian sertifikat langsung, PLPG dan PPG. Namun membebankan pembiayaan kepada peserta adalah pelanggaran berat yang dilakukan kementerian.
“Tidak ada satu klausulpun dalam UU No. 14/2005, PP No. 74/2008, Permendiknas No. 11/2011, Permendikbud 87/2013 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menyebutkan bahwa proses sertifikasi dibiayai sendiri oleh guru. Namun peserta PPG tahun 2016 harus menandatangani Pakta Integritas diatas materai enam ribu yang isinya bersedia menanggung biaya PPG tanpa tertulis nominalnya. Ini adalah indikator ada ketidakberesan dalam pengambilan kebijakan oleh pihak kementerian”, tegas Ma’mun.
Selain pembiayaan PPG, Ma’mun juga merasa keberatan jika PPG yang dilaksanakan mengacu kepada Permendikbud Nomor 87 tahun 2013, sebab Permendikbud tersebut bukan diperuntukkan bagi guru yang sudah bertugas melainkan untuk guru yang belum bertugas, sehingga meskipun sudah lulus S.1 tetapi harus menempuh pendidikan profesi dan mendapatkan gelar Gr sebagai pengakuan pemerintah terhadap kompetensinya.
“Guru yang sudah bertugas tidak membutuhkan gelar Gr, tetapi lebih pada substansi peningkatan kompetensinya. Gelar Gr dan pendidikan profesi yang mengacu pada Permendikbud 87/2013 hanya untuk mereka yang belum bertugas mengajar tetapi memiliki minat pada profesi keguruan, karenanya sertifikasinya disebut dengan guru pra jabatan”, tegas Ma’mun.
Lebih lanjut Ma’mun juga menuturkan keberatannya dengan adanya guru Non PNS yang mengejar disekolah negeri sebagai peserta PLPG tahun 2016 dengan kategori honorer daerah. Sebab kita mengetahui bersama bahwa dikabupaten Garut tidak ada Guru HONDA yang bekerja disekolah negeri. Karena ini menyangkut jaminan, apakah setelah mengikuti PLPG guru honorer disekolah negeri akan mendapatkan tunjangan sertifikasi atau akan sama nasibnya dengan guru non pns seperti dulu tahun 2012.
“Kami yakin, kegelisahan guru dikabupaten Garut merupakan kegelisahan yang sama diseluruh Indonesia, karena pihak Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota hanya bersifat mensosialisasikan kebijakan kementerian saja. Oleh karenanya, kami sudah mengirimkan maklumat kepada PB PGRI supaya melakukan langkah-langkah perjuangan agar PPG tahun 2016 tidak dibebankan biayanya kepada peserta, tetapi tetap dibiayai oleh pemerintah sebagaimana amanat konsitusi. Termasuk juga memperjuangkan pemetaan guru yang harus PLPG dan PPG berdasarkan kategori dalam jabatan dan prajabatan, bukan berdasarkan TMT bertugas. (han)