UUD Negara RI Tahun 1945 yang merupakan grand design penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara telah menyampaikan dengan sangat jelas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Konsep Negara Hukum dari awal keberadaannya hingga kini, telah mengalami suatu dinamika yang cukup panjang yang dapat dibeda-bedakan sebagai berikut :
- Konsep Negara Hukum Liberal (Negara hukum yang hanya menjaga ketertiban masyarakat, dan tidak terlalu aktif dalam menjaga keperluan rakyat. Jadi mirip dengan “negara polisi” atau “negara penjaga malam (nachwachter staat).
- Negara Hukum Formal (Negara dimana pemerintahannya dan seluruh cabang pemerintahannya tunduk kepada hukum tertulis yang berlaku, seperti konstitusi dan undang-undang. Inilah yang disebut dengan negara rechtstaat).
- Negara Hukum Materiil (Negara yang didasarkan pada hukum, tetapi tidak terbatas kepada hukum yang formal semata-mata, melainkan hukum yang adil yang mengutamakan kesejahteraan rakyat. Inilah yang disebut dengan negara welvaar staat.).
Berdasarkan konsep tersebut, maka kemudian sangat jelas bahwa sebagai negara hukum, maka setiap regulasi-regulasi yang dibuat oleh Negara harus berorientasi pada bagaimana menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam fenomena pembangunan nasional saat ini, masih segar di telinga kita semua terkait kebijakan pemerintah untuk membangun sebuah proyek strategis nasional yang terletak antara Jakarta – Bandung, yakni Kereta Cepat Jakarta – Bandung. Terkait dengan proyek Nasional tersebut, secara normatif, telah dinaungi oleh payung hukum, tepatnya dalam Peraturan Presiden No 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta – Bandung. Dalam bagian menimbang poin a dari Perpres tersebut, diketahui bahwa latar belakang pembangunan tersebut diadakan dalam rangka untuk meningkatkan pelayanan transportasi untuk mendukung pembangunan di wilayah Jakarta – Bandung. Perlak, di sana hanya disebutkan pembangunan di wilayah Jakarta – Bandung. Tidak hanya sampai disitu, pada tahun 2016, kembali ada regulasi yang dibuat oleh Pemerintah melalui Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Pada lampiran poin 60, disebutkan bahwa salah satu proyek strategis nasional ialah pembangunan High Speed Train Jakarta – Bandung. Sehingga dengan demikian, secara yuridis – normatif persoalan pembangunan kereta cepat Jakarta – Bandung telah memiliki payung hukum yang kuat untuk di jalankan oleh Pemerintah. Proyek ini digagas oleh Presiden Joko Widodo ketika berkunjung ke Tiongkok menjelang akhir Maret 2015. Berikutnya, rute yang dirancang adalah dari Stasiun Gambir di Jakarta sampai Stasiun Gedebage di Bandung, Jawa Barat. Panjangnya 150 kilometer. Investasinya setelah dihitung ulang, menjadi 5,5 miliar dollar AS, atau kalau dihitung memakai kurs sekarang nilainya bisa sekitar Rp 74 triliun. Tetapi pertanyaan yang kemudian muncul ialah, apakah pembangunan tersebut bersesuaian dengan konsep negara hukum (tepatnya negara hukum materiil / welfare state) ?
Untuk menjawab hal tersebut, tentu terlalu naif jika kita hanya merujuk pada peraturan hukum tertulis tanpa melihat cause-effect dari suatu perbuatan pemerintah yang di include-kan ke dalam suatu kaidah hukum tertulis. Hal ini pun dikuatkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo yang menyatakan “binnen de kader van de wet” yang artinya bahwa hukum tidak hanya berkisar pada masalah peraturan perundang-undangan, melainkan pada masalah manusia/masyarakat”. Selain itu, Eugen Erlich sebagai founding people of sociological law menyatakan bahwa “baik kini, esok bahkan sampai kapanpun, pusat kajian hukum bukanlah pada peraturan perundang-undangan, bukan ilmu hukum, maupun putusan pengadilan, melainkan ada dalam masyarakat”. Dari dua pendapat pakar tersebut, maka terkait masalah ini, selanjutnya penulis akan mengkaji dalam perspektif relevansi pembangunan kereta cepat Jakarta – Bandung dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sebagaimana pada pertanyaan sebelumnya.
Perlu diketahui bersama bahwa investasi asing dalam pembangunan tersebut tidak sedikit bagi negara. Tapi, kalau dilihat dari value creation pada ekosistemnya, uang sebesar itu bagi pengusaha swasta bukan uang yang besar-besar amat. Apalagi ada banyak project finance yang bisa digarap dan memberi ruang penguatan BUMN yang besar.
Ini tentu masih harus dijelaskan secara bertahap, karena ia memang rumit dan sudah pasti BUMN kita yang menangani proyek besar ini harus beradaptasi dengan perubahan. Beradaptasi itu baik, karena ia bukanlah bebek yang lumpuh. Lagi pula di sana akan ada banyak spekulasi yang dapat menghambat dan mengorbankan kepentingan rakyat kecil. Ini tentu harus dijaga negara.
Adapun skema yang ditawarkan dalam pembangunan ini ialah murni Business to Business (B2B) dengan delapan BUMN Tiongkok yang dipimpin oleh China Railway Corporation (CRC) sebagai pihak yang akan berinvestasi. Konsorsium CRC itu akan berkongsi dengan empat BUMN, yakni PT Wijaya Karya Tbk (pemimpin konsorsium), PT Kereta Api Indonesia, PT Jasa Marga Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara VIII.
Konsorsium CRC itu bahkan sudah menyiapkan China Development Bank (CDB) sebagai penyandang dana. Nilai investasinya pun berkurang menjadi 5,5 miliar dollar AS. Saya melihat suku bunga pinjaman tawaran CDB cukup kompetitif. Fair. Apalagi jangka waktu pengembaliannya juga sampai 40 tahun, ditambah dengan grace period 10 tahun. CRC juga siap berpatungan dengan konsorsium BUMN kita dengan komposisi kepemilikan saham 60 persen untuk konsorsium BUMN kita dan 40 persen CRC. Akan tetapi, terkait masalah pembanguna tersebut, dengan berdasarkan data dari FORUM INDONESIA TRANSPARANSI ANGGARAN (FITRA) yang menyatakan, utang yang harus dibayarkan oleh Indoensia kepada Tiongkok jika dilangsungkan pembangunan kereta cepat Jakarta – Bandung, diperkirakan mencapai Rp. 2,95 T, yang kalau dihitung perhari adalah Rp. 8,2 M. Dan penjualan tiket Kereta pun tidak cukup untuk itu setiap hari. Sedangkan berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), bahwa utang negara kita saat ini Rp. 4376 T. Akan kah kita terus menggemboki utang-utang negara kita dengan pembangunan-pembangunan yang tidak terlalu penting bagi Indonesia. Tentu ini menunjukkan bahwa secara statistik cost and benefit pembangunan proyek tersebut, masih belum di dasarkan pada kesiapan Indonesia untuk mengembannya dalam rangka menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, bukan rakyatnya secara partikulir. Bahkan ketika kita merujuk pada pendapat Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa suatu pembangunan yang tidak di dasarkan pada kesiapan bangsa akan berimplikasi pada terciptanya “dark-engineering”. Jika kondisi proses “dark-engineering” oleh pemegang kekuasaan dibiarkan berjalan tanpa pencegahan, akan menimbulkan skeptisme sosial (societies sceptical), prasangka sosial (societies prejudice), dan resistensi sosial (societies resistant) terhadap fungsi dan peranan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat.
Tidak hanya sampai disitu, pembangunan ini juga mengindikasikan akan adanya pembangunan yang bersifat Jawasentris. Betapa tidak, dengan merujuk pada Perpres No 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Proyek Strategis Nasional, yang diantaranya ialah pembangunan high speed train Jakarta – Bandung, masih sangat terfokus pada pembangunan di wilayah Pulau Jawa. Dari 225 proyek Pembangunan yang tertuang dalam lampiran Perpres tersebut, sebesar 99 proyek pembangunan diadakan di pulau Jawa, atau dalam hal ini ada sebanyak 44% dari total proyek strategis nasional yang diselenggarakan di Pulau Jawa. Ini tentunya menimbulkan disparitas dalam pembangunan nasional yang lebih terfokus di wilayah pulau Jawa, yang salah satu pembangunan yang diselenggarakan di Jawa tersebut adalah Kereta Cepat Jakarta – Bandung. Tentu ini menjadi sebuah polemik dalam pembangunan nasional saat ini, yang mana apakah kesejahteraan dan kemanfaatan dari suatu pembangunan nasional lebih banyak akan dinikmati oleh masyarakat di Pulau Jawa. Bahkan masalah lain yang timbul dari disparitas pembangunan tersebut adalah Pemerintah pun akan terfokus pada pembangunan proyek strategis nasional yang di dominasi di Pulau Jawa dan “melupakan” pembangunan di daerah tertinggal yang juga harusnya di adakan percepatan, dalam rangka meminimalisisr disparitas pembangunan di daerah tertinggal dan non daerah tertinggal, dan juga antara pembangunan di daerah pulau jawa dan non-pulau jawa. Bahkan mengenai percepatan pembangunan daerah tertinggal juga telah memiliki payung hukum yang dituangkan dalam PP No 78 Tahun 2014. Sehingga saat ini pun dimungkinkan terjadinya overlapping dalam penegakan hukum dalam pembangunan nasional (antara pembangunan di daerah tertinggal dengan pembangunan proyek strategis nasional yang notabene di dominasi di Jawa).
Padahal pada UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional telah menyatakan dengan sangat jelas dalam Pasal 2, bahwa Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan “asas kebersamaan, berkeadilan, …………”, pun dalam lampiran UU No 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005 – 2025 tidak ada satupun nomenklatur kereta cepat yang menjadi objek prioritas pembangunan nasional, melainkan yang ada hanyalah pembangunan di daerah tertinggal. Pun dalam lampiran Perpres No 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015 – 2019, juga tidak ada nomenklatur pembangunan kereta cepat Jakarta – Bandung, yang ada hanyalah pembangunan kereta api di beberapa daerah di Jakarta dan di Jawa Barat. Tapi entah dari mana asalnya tiba-tiba saja lahir Perpres No 107 tahun 2015 dan Perpres No 3 Tahun 2016, yang menjadikan Kereta Cepat Jakarta-Bandung menjadi salah satu objek pembangunan nasional yang bersifat vital atau penting. Oleh sebab itu, sudah sangat tepat jika kita menyampaikan apa yang pernah diungkapkan oleh Prof. Bagir Manan terkait dengan keberadaan Pembangunan Kereta Cepat Jakarta – Bandung, yakni telah terjadi communi opinio doctorum (Penegakan hukum yang gagal mencapai tujuan yang diisyaratkan oleh hukum).
Tidak hanya sampai disitu, pun untuk menjawab pertanyaan yang telah dipaparkan diawal tulisan ini, dengan merujuk pada apa yang telah dijabarkan, maka sangat jelas dengan keberadaan pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat Indonesia (secara utuh), melainkan justru menimbulkan disparitas pembangunan di Pulau Jawa dengan non-Jawa. Padahal seharusnya pembangunan nasional harus berkeadilan dan proporsional dalam rangka mewujudkan Kesejahteraan / Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.