CIREBON – Kelompok preman yang “menyerang” dan melakukan pengamcaman pada warga Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, bernama Abdul Rochmani (56), hingga kini belum “tersentuh” hukum. Polsesk Sedong yang menangani kasus tersebut bahkan telah mengeluarkan pernyataan kalau kasus tersebut selesai karena tidak ditemukan unsur pidana. Padahal, kelompok preman tersebut nyata-nyata melakukan intimidasi dengan mendatangi rumah warga dan mengancam akan membunuhnya.
“Polisi sebagai lembaga penegak hukum, bertugas melindungi dan mengayomi masyararak yang membutuhkan perlindungan hukum. Apalagi yang bentuknya ancaman nyawa, ini sangat serius loh. Tentunya yang diancam juga merasa tidak tenang dan merasa ketakutan,” ujar anggota Komisi I DPRD Kabupaten Cirebon, Sofatilah SH, Sabtu (26/03).
Dikatakan dia, dalam KUHPidana sangat jelas termuat tentang ancaman. Yakni, tindakan mengancam nyawa orang lain, dengan kata-kata, melalui ucapan langsung atau tertulis, adalah perbuatan yang dapat dipidana. Pasal yang dapat dipakai yaitu Pasal 336 KUHPidana.
Pertama, kata dia, sudah jelas dalam isi aturan itu barang siapa mengancam dengan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dengan tenaga bersama, dengan suatu kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang.
“Dengan perkosaan atau perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan, dengan sesuatu kejahatan terhadap nyawa, dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran. Bisa diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan,” lanjutnya.
Selanjutnya kedua, tambahnya, bilamana ancaman dilakukan secara tertulis dan dengan syarat tertentu. Maka bisa dikenakan penjara paling lama 5 tahun. Kemudian bisa juga dikenakan pasal 336 ayat (2) KUHP, tentang pengancaman. Hukumannya kalau terbukti yaitu 2 tahun 8 bulan kurungan penjara.
“Ini tugas polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, untuk memprosesnya baik secara mediasi, atau secara hukum kalau memang benar ada bukti pendukung. Paling tidak, berilah rasa nyaman kepada si pelapor. Jangan sampai permasalahan jadi semakin meresahkan,” jelasnya.
Sekedar mengulas, kasus tersebut terjadi pada Senin (14/3/2016) malam lalu. Saat itu, puluhan preman bermotor mendatangi Abdul Rochmani (56), yang tengah berada di kediaman keluarga istrinya, di Desa Sedong Lor, Kecamatan Sedong, sekitar jam 22.30 WIB.
Segrombolan preman bermotor masuk ke halaman, dan mengetuk pintu rumah. Salah satu oknum preman tersebut menanyakan keberadaan korban. Namun, beberapa oknum preman yang masih di sepeda motor dan menggunakan helm yang jumlahnya puluhan membuat gaduh, berteriak-teriak dengan nada ancaman.
“Terus terang kami takut, dan mereka nggak sopan. Masa bertamu malam-malam, dan bergrombol. Bahasanya juga nggak sopan. Malah ada yang ngancam, bilangin sama pak Adung (sapaan korban), jangan macam-macam sama Projo. Terus ada yang bilang, nanti saya habisin,” Aspiah, mertua korban.
Diduga, aksi pengontrogan dan pengancaman yang dilakukan sekelompok preman itu berkaitan dengan persoalan tanah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 dan pembangunan PLTU 2. Pasalnya, korban berencana melaporkan kasus penyerobotan tanah yang dilakukan oleh PLTU 1 dan 2, Jum’at (18/03).
Direktur Eksekutif Rakyat Penyelamatan Lingkungan (RAPEL), Moh Aan Anwaruddin, mengatakan, korban merupakan salah satu ahli waris pemilik tanah yang diserobot oleh PLTU 1, dan juga Perhutani yang rencananya untuk pembangunan PLTU 2. Dari hal itu, korban berencana melaporkan kasus tersebut ke pihak-pihak terkait, salah satunya ke Presiden Joko Widodo, dan bank pendana pembangunan PLTU 1 dan 2, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk mendapatkan keadilan dan haknya kembali.
“Ini adalah upaya penjegalan, karena korban akan melaporkan kasus-kasus kejahatan PLTU 1 terkait penyerobotan tanah, dan kasus pembebasan tanah oleh Perhutani pada tahun 1986 silam, yang secara hukum tidak sah. Kasus ini harus diusut tuntas, dan tangkap para aktor yang terlibat,” tegas Aan.
Aan menganggap, pihak-pihak yang mempunyai kepentingan merasa terancam dengan rencana laporan yang akan dilakukan korban. Dari hal itu, mereka akhirnya menghalalkan segala cara untuk menjegal rencana korban tersebut. Pasalnya, jika itu sampai terjadi, akan terungkap kasus-kasus kejahatan PLTU 1, kemudian akan menghambat pembangunan PLTU 2, bahkan bisa gagal, dan banyak pihak yang akan ditangkap karena terlibat dalam masalah tersebut.
“Ini adalah kejahatan terencana. RAPEL akan melawan bentuk intimidasi apapun. Secara lisan kami sudah melaporkan kasus penyerobotan tanah ke JBIC. Teman-teman Kontras dan LBH Bandung pun mengawal kasus ini. Kami tidak akan main-main dengan kasus ini,” ujarnya. (crd/bay)