BANDUNG – Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mengaku geram dengan geliat industri hiburan baik film, sinetron, dan acara kejar tayang lainnya yang makin jauh dari unsur edukasi. Ia juga mengkritisi lemahnya pengawasan pihak terkait dalam meloloskan sebuah tayangan.
“Saya cukup prihatin karena iklim sinetron nasional terus terdesak dan terpengaruh sinteron dari luar. Budaya kejar tayang juga membuat ceritanya tidak jelas,” kata Deddy di Bandung.
Menurut dia, sejumlah tayangan sinetron memberi dampak negatif bagi masyarakat seperti karakter pelaku yang tidak pantas ditiru, mengumbar gaya hidup mewah dan hura-hura.
Tapi, ia mengakui, masih ada sinetron yang bisa menjaga isi tayangannya dengan menceritakan hal positif dan memberi pencerahan. Namun sayang, rating-nya terdesak oleh sinetron yang lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. “Apa ini akan terus dibiarkan, kita harus ada perbaikan,” katanya.
Wagub juga menyinggung kinerja Komisi Penyiaran Indonesia(KPI) dalam memfilter adegan-adegan yang dinilai tak layak konsumsi. “Aturannya sudah bagus hanya saja pengawasannya bagaimana? Sekarang gimana KPI bisa menyensor. Lha syuting sore, malam harus tayang. Sedangkan film yang tayang itu harus memiliki nomor lulus sensor,” tegasnya.
Ia juga menyebutkan bahwa tahun 2016 adalah tahun evaluasi terkait tayangan-tayangan yang jauh dari edukasi tersebut. “Mindset, pola pikir, isi film diatur. KPI memiliki tugas yang sangat berat,” tandasnya.
Bahkan lebih tegas lagi, Ia menyebutkan jika penegak hukum bisa saja menyelidiki masalah penayangan film di televisi. “Uang triliunan mengalir disitu. Industri hiburan ini ibarat gula yang dikerumuni banyak semut. Jadi penegak hukum sah-sah saja menyelidiki. Ada kepentingan apa, apa ada penggelapan pajak, manipulasi iklan,” ucapnya.
Diberitkan sebelumnya, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mempertanyakan iklan-iklan partai politik yang kini makin marak di televisi. Kritik ini tegas disampaikan Wagub Jabar kepada pemilik stasiun televisi yang juga berkecimpung di dunia partai politik.
“Mereka (parpol pemilik stasiun televisi) bayar enggak kalau ngiklan? Kalau tidak bayar, berarti mereka tidak bayar PPN. Kalau enggak bayar, dia manipulasi,” ujar Deddy Mizwar di Gedung Sate Bandung, baru-baru ini.
Deddy mengungkapkan, jika terjadi manipulasi pajak, itu artinya partai tersebut korup. “Jangan percaya, itu partai korup. Enggak bayar iklan berarti enggak bayar PPN. Pasti partai korup,” tutur dia.
Selanjutnya, sudah selayaknya partai yang mempunyai stasiun televisi harus diaudit. Agar lebih jelas, apakah partai tersebut membayar PPN atau tidak. “Berapa dia banyak pasang iklan di TV-nya? Berapa banyak dibayar PPN? Gue enggak tahu. Harus diaudit tuh,” ucapnya.
Apalagi frekuensi televisi merupakan milik egara yang notabene dikuasai rakyat. Frekuensi tersebut kemudian dipinjamkan ke beberapa orang melalui Kemenkominfo. Itu artinya, rakyat memiliki kuasa terhadap frekuensi yang dipinjamkan kepada beberapa orang tersebut.
“Rata-rata orang bikin TV untuk bikin partai sekarang. Makanya, evaluasi kembali frekuensi. Kembalikan frekuensi kepada kami, kepada rakyat. UU-nya sudah bagus, pengawasannya yang kurang,” tutur dia.
Terlebih lagi, saat ini tayangan televisi banyak yang tidak mendidik. Akibatnya, banyak orangtua yang mengeluhkan program televisi, mulai dari sinetron hingga program-program lainnya. Namun sayangnya, keluhan ini kadang tidak diungkap ke publik. (jay)