BANDUNG – Keberadaan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) belakangan ini menjadi isu central hampir di semua media, baik cetak maupun elektronik. Terlebih, isu tersebut juga disangkutpautkan oleh beberapa kasus dan kejadian di Indonesia. Alhasil, isu yang menjadi buah mulut masyarakat ini menuai berbagai komentar hingga pro dan kontra di berbagai lapisan masyarakat. Hingga timbul pertanyaan mendasar “Sebenarnya, penyebaran dan keberadaan kaum LGBT apakah merupakan suatu wabah/peyakit yang dapat menular?”
Menyikapi hal ini, Dokter ahli kejiwaan di RS Hasan Sadikin dr. Teddy Hidajat pun membahasnya dalam wadah diskusi di RS Hasan Sadikin, Jumat (19/2). “Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT dibagi menjadi dua kelompok, yakni homoseksual identity dan perilaku homoseksual. Keduanya dibedakan menurut faktor penyebabnya,” ungkap Teddy.
Ia menjealskan, homoseksual identity disebabkan oleh faktor genetik dan hormonal saat berada di dalam rahim, sedangkan perilaku homoseksual disebabkan oleh faktor gaya hidup (lifestyle), lingkungan, bahkan dapat juga disebabkan oleh pengalaman (korban) seks masa kecil. “Namun sampai saat ini belum ada penelitian yang komperhensif dari pemerintah untuk pendataan jumlah persentase dari kedua jenis pengelompokkan tersebut,” tandasnya.
Dokter Teddy menambahkan perlu ada sinergi antara akademisi yang melakukan pendidikan, penelitian dan advokasi yang memiliki ilmunya dengan pemerintah yang bertanggung jawab dalam kesejahteraan masyarakat yang memiliki dana, sumber daya manusia, dan kekuatan mengambil kebijakan. “Saat ini belum ada tempat konseling khusus untuk LGBT ini, jika nantinya sudah ada tempat, poli psikiatri di RSHS akan dapat membina untuk terapi, jadi pendidikan seks dan dan program yang tepat dari pemerintah itu perlu,” ujar dr. Teddy
Apakah kaum yang terjangkit LGBT ini merupakan suatu penyakit? Menurut dr. Teddy, LGBT bukanlah suatu jenis penyakit, namun dalam ilmu psikopatologi dikenal istilah seks addict, yakni perasaan ketagihan rangsangan seksual yang berulang ulang yang diterima oleh otak (Remote System dopamin dalam otak) melalui pengalaman seks masa kecil maupun oleh perilaku homoseksual.
Jadi dapat disimpulkan, penyebaran kaum LGBT ini tidak seperti virus atau kuman yang menyebar melalui infeksi, melainkan oleh faktor pengalaman seks yang diterima oleh kaum LGBT.
Namun, dikarenakan belum ada data statistik yang valid, pihaknya meminta pemerintah untuk melakukan penelitian hingga dapat dicari bersama solusinya. “Kami sebagai akademis, mendorong pemerintah untuk melakukan penelitian. Nantinya dari hasil penelitian itu dapat kita kembangkan dalam program penanganan yang bersifat solutif,” harapnya.
Di akhir diskusi Teddy menegaskan, meski kaum LGBT ini bukan kategori suatu penyakit, namun para pelaku homoseksual diyakini sebagai faktor pemicu meluasnya virus HIV/AIDS. Mengapa demikian, karena biasanya para pelaku dan prilaku homoseksual melakukan hubungan seks tidak selalu dengan pasangannya, disamping proses ovulasi yang bukan pada tempatnya. (cuy/red)