CIREBON – Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, Ferry Sofwan Arif menyebut hanya baru Kabupaten Indramayu yang mematenkan motif batik khas daerahnya di Jawa Barat. Di tengah ketidakjelasan hak paten tersebut, produk batik dari luar provinsi mulai mengancam industri batik lokal seperti halnya di Cirebon.
“Yang mendaftarkan secara langsung baru Indramayu saja. Yang lain belum didaftarkan. Harusnya masing-masing daerah itu mendaftarkan agar tidak ada pihak asing yang mengklaim,” kata Ferry, Minggu (27/12/2015) lalu.
Menurutnya, potensi industri batik nasional sangatlah besar, yakni mencapai Rp. 4 triliun rupiah total pembelian yang terakhir tercatat selama tahun 2012 lalu. Ferry mengakui angka itu memang belum sebesar Provinsi Jawa Tengah yang merupakan daerah penghasil batik secara kesejarahan di Indonesia. Di Jawa Barat, daerah utama penghasil batik yaitu Cirebon dan Indramayu.
“Jawa Barat menghasilkan seperempatnya dari produksi batik nasional artinya kan hanya Rp. 1 triliun di Jawa Barat. Artinya potensi industri batik di Jawa Barat juga perlu didukung besarnya penyerapan produk tersebut oleh masyarakat lokal,” kata Ferry
Salah seorang tokoh perajin batik di Desa Trusmi Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon, Sugeng mengatakan, pendaftaran motif khas daerahnya sempat dilakukan. “Dulu sempat diusulkan oleh pemerintah dan anggota DPRD, tapi sampai sekarang tidak jelas kelanjutannya,” kata Sugeng, Senin (28/12/2015).
Di tengah ketidakjelasan hak paten motif batik mereka, para perajin di Desa Trusmi merasa batik buatannya juga terancam produk batik luar daerah yang dijual di showroom setempat. Salah satunya di pusat grosir Trusmi yang diakui para perajin di sana justru menjual batik asal Pekalongan dan lainnya.
Sekretaris Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Cirebon, Made Casta lebih menyoroti penggunaan nama Trusmi oleh pengusaha pusat grosir tersebut. Penggunaan nama Trusmi yang merupakan desa tempat lokasi tersebut justru dianggap warga sekitar tidak merepresentasikan produk batik setempat.
“Ketika menyebut showroom Batik Trusmi, maka ada konsekuensi dari yang bersangkutan (pengusaha.red) bahwa di dalam yang dijual itu representasi batik Trusmi. Apakah seperti itu?” kata Made.
Kekhawatiran masyarakat diakui sudah muncul sejak tempat itu akan dibangun menggunakan nama daerah di sana. Made menilai, penggunaan nama Trusmi di sana merugikan para perajin setempat. Menurutnya, produk batik Trusmi tidak sesederhana yang dijual di showroom tersebut. Ia beranggapan, produk batik yang dibuat para perajin setempat lebih vareatif dari yang dijual di pusat batik Trusmi.
“Orang yang berkunjung kesitu akan menilai, loh kok batik Trusmi seperti ini? Misalnya kok printing yang banyak. Sementara printing kan bukan kategori printing. Kemudian orang melihat batik-batik tulisnya. Sehebat apa sih batik tulis di situ? Apakah itu unggulan-unggulan dari Trusmi?” kata Made menjelaskan. (gfr)