BEKASI – Belum kelar kasus yang dialami Ibrahim Blegur (36) terkait kasus meninggalnya sang bayi Falya Rafaani Blegur (14 bulan) akibat kelalaian yang dilakukan oleh tim medis RS Awal Bros Bekasi, beberapa waktu lalu. Kabar lain terkait penanganan dari RS Awal Bros Bekasi, muncul aduan lainnya.
Samuel Bonaparte Hutapea (36), warga Narogong, Kecamatan Rawalumbu mengaku, menjadi salah satu korban penanganan medis tak memuaskan dari RS Awal Bros. Operasi kecil yang diharapkan memperbaiki wajah putri semata wayangnya justru memberikan bekas permanen.
Dia menuturkan, peristiwa naas yang menimpa putrinya terjadi empat tahun silam. Saat itu, putrinya Samuella Yerusalem yang baru berusia tiga tahun jatuh akibat bermain bersama temannya.
Luka yang didapat cukup dalam, sehingga mengharuskan Samuella mendapatkan penanganan medis. Karena panik, Samuel pun membawa putrinya ke RS Awal Bros, Kalimalang, Bekasi.
Sebetulnya, di dalam perjalanan, darah yang mengucur dari luka putrinya perlahan mulai berhenti. Sehingga, dia yakin penanganan medis yang dibutuhkan tak terlalu merisaukan. “Sebetulnya, di jalan darahnya mulai berhenti. Tapi saya tetep pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis, khawatir terjadi sesuatu,” ujarnya, Selasa (17/11).
Lelaki yang berprofesi sebagai advokat ini melanjutkan, setibanya di rumah sakit dirinya mendapatkan pelayanan dari dokter umum. Ia meminta agar sang dokter memberikan penanganan yang tak meninggalkan bekas pada kulit putrinya. “Saya minta lukanya dikasih lem saja, sebab kalau lukanya dijahit saya khawatir berbekas, anak saya kan perempuan. Kasihan nanti kalau sudah dewasa,” jelasnya.
Namun, sang dokter mengatakan, luka yang dialami putrinya tak bisa ditangani menggunakan lem. Seharusnya, luka tersebut ditangani dengan dijahit.
Dengan berat hati, Samuel pun menyanggupi tetapi dengan satu syarat. Benang yang dipergunakan sang dokter untuk menjahit luka putrinya harus benang yang meresap ke kulit. Sehingga, putrinya tak merasakan sakit berulang saat benang harus dilepas saat luka jahit sudah kering.
Tetapi, sang dokter tak menyanggupi dengan alasan serupa, yakni proses penjahitan luka harus menggunakan benang yang tak meresap ke kulit. Sebetulnya, dalam hal ini Samuel tak setuju. Sehingga ia pun menegaskan untuk yang kesekian kalinya pada dokter tentang hal-hal yang Ia minta untuk penanganan putrinya tersebut.
“Saya tegasin lagi ke dokternya tentang permintaan saya, eh dokternya malah marah-marah dan maki saya. Dia bilang, dia dokter lulusan Universitas Indonesia (UI) jadi dia yang paling tau,” jelasnya.
Sebagai orang awam soal dunia kesehatan, Samuel pun setuju luka putrinya dijahit. Usai penanganan luka putrinya selesai, ia pun keluar untuk menyelesaikan administrasi.
Merasa masih penasaran, semua permintaan yang tak disanggupi ditanyakan kembali ke salah satu staff administrasi di sana. Rupanya, semua permintaannya pada dokter yang menanangani putrinya bisa diberikan. Namun, sayangnya pihak rumah sakit yang tak bisa menyanggupi.
“Katanya bisa luka anak saya dilem, atau dijahit dengan tak perlu cabut benang kembali. Tapi emang di rumah sakit sedang tak punya peralatannya. Ini dokternya yang bohongin saya, harusnya dia bilang kalau rumah sakit yang tak punya peralatan, jadi anak saya bisa dirujuk ke rumah sakit lain,” tegasnya.
Dari situlah, Samuel kembali ke ruangan sang dokter dan meminta penjelasan. Dirinya tak terima dan merasa dibohongi. Ia pun meminta pertanggung jawaban managemen rumah sakit. “Setelah saya marah-marah, barulah ditangani dengan ramah. Sebelumnya dokternya ketus banget, bawa-bawa almamater pula. Saya pun yang merasa jadi korban penipuan ikut menggertak dengan bilang alumni UI Fakultas Hukum,” ujarnya.
Akhirnya, usai kejadian pihak manajemen rumah sakit pun meminta dirinya bersabar. Pihak manajemen mendatanginya dengan membawa seorang suster. Di sana, ia diminta untuk mengisi formulir persetujuan tindakan. “Saya tidak mau tanda tangan. Terkesan rumah sakit mau memenuhi formalitas. Sebelumnya saya dimaki-maki sama dokter yang nanganin putri saya, tak ada keramahan. Sekarang justru berbalik,” ujarnya.
Usai kejadian, manajemen rumah sakit menjanjikan dirinya bertemu dengan dokter spesialis bedah plastik satu minggu setelahnya. Akhirnya, Ia pun bersedia menemui dokter ahli bedah plastik.
Dari situ, ahli bedah plastik dari RS Awal Bros menyatakan, hasil jahitan anak saya tak akan berbekas secara permanen. Samuel pun mengaku lega dan tak mau memperpanjang masalah tersebut. “Saya lega berniat menyelesaikan masalah cukup sampai di situ saja,” imbuhnya.
Namun, pernyataan berbeda didapatkan dari rumah sakit lainnya, RS Mitra Keluarga, Bekasi Barat. Salah satu dokter rumah sakit tersebut menyatakan bekas luka yang dialami anaknya akan berbekas selamanya. Bahkan, bekas jahitan akan membesar dengan seiring pertumbuhan anak.
“Wah di situ saya kembali panas. Saya dibohongi RS Awal Bros untuk kedua kalinya. Padahal, kemarin ahli bedah plastik meyakinkan tak akan ada masalah apapun,” jelasnya.
Setelah itu, dirinya pun melayangkan surat somasi pertama ke pihak manajemen RS Awal Bros. Hasilnya, pihak rumah sakit menjawab akan bertanggung jawab memberikan penanganan bedah plastik pada wajah putrinya. “Tapi saya sudah terlanjur tak percaya. Bayangkan dua kali dibohongi,” jelasnya.
Akhirnya, Ia pun memutuskan memperkarakan penanganan tak baik yang ia dapat dari RS Awal Bros Kalimalang, Bekasi. Awalnya, gugatan dilayangkan pada 2014 lalu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, karena salah gugat, akhirnya ia pun pindah ke PN Kota Bekasi pada Maret 2015 lalu.
Dirinya menggugat RS Awal Bros atas perbuatan melawan hukum, sehingga seorang pasien tidak medapatkan informasi konsen untuk ditangani dengan baik. Hal ini, lanjut dia, diatur dalam undang-undang KUH Perdata, UU Kesehatan, UU Kedokteran, UU Rumah Sakit, serta UU Perlindungan Konsumen.
Sementara itu, Komisioner KPAI, Erlinda menyampaikan, pihaknya akan terus mengawal korban-korban yang merasa dirugikan atas penanganan RS Awal Bros. Sebab, rupanya korban bukan hanya satu orang saja. “Karena ini kan menyangkut keselamatan banyak pihak, dan ini kan termasuk haknya konsumen kan. Mereka kan bayar ke sana, tapi kenapa seperti ini. Jadi harus ada tanggung jawab,” tegasnya.
Kendati demikian, kasus yang berulang kali terjadi di RS Awal Bros ini, menurutnya belum tentu dapat membuat rumah sakit ini dicabut izin operasionalnya. “Ditutup atau tidak, tergantung urgensinya, tapi kemungkinan-kemungkinan itu tetap ada,” pungkasnya. (fjr)