Home » Artikel » Menelaah Perbup Purwakarta No. 70 Tahun 2015 dan Dampaknya dari Aspek Yuridis Sosiologis

Menelaah Perbup Purwakarta No. 70 Tahun 2015 dan Dampaknya dari Aspek Yuridis Sosiologis

DI eraglobalisasi dan kemajuan zaman yang sangat pesat ini, adat timur memang perlu lebih ekstra diterapkan dalam segala aspek, guna mempertebal rasa nasionalisme yang tak mungkin dipungkiri telah pudar saat ini.

Viorizza Suciani Putri - Mahasiswi FH Unpad

Viorizza Suciani Putri – Mahasiswi FH Unpad

Hal tersebut disebabkan keterbukaan dalam menerima informasi,namun hal tersebut tidak selalu berdampak positif. Karena keterbukaan dalam menerima informasi tersebut, banyak budaya barat yang kian ditiru, termasuk gaya pacaran.

Hadirnya Perbup No.70 tahun 2015 ini, merupakan sebuah terobosan inovasi demi mempertahankan budaya adat timur dan langkah preventif dalam pencegahan hal-hal yang tidak diinginkan dari dampak negatif dari pacaran itu sendiri.

Disebutkan dalam perbup tersebut, barang siapa yang berkunjung hingga larut pukul 21.00 akan diberi peringatan sampai 3 kali, jika tetap melanggar akan dikawinkan secara paksa. Tanpa mengurangi rasa empati saya kepada Bapak Bupati, Dedi Mulyadi saya ingin mengajak para netizen untuk menelaah bagaimana dampak dan implikasi dari aspek yuridis dan sosiologis terkait perbup tersebut.

Pertama, perlu diketahui dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan:
“Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 berbunyi:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan olehMajelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Jadi, peraturan bupati merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh bupati. Dalam peraturan, biasanya mengikat umum dan berlaku terus menerus. Saat ini, dikabarkan penerapannya akan dimulai oktober mendatang.

Kedua, mengenai sanksi yang diterapkan, yakni dikawinkan secara paksa perlulah dikaji ulang dalam penerapannya. Kita semua mengetahui, bahwa masalah perkawinan sangat kompleks, dari mulai perkawinan sejenis, beda agama, dan lain-lain. Hal tersebut dikarenakan, pernikahan banyak dikaitkan dengan banyak aspek. Dari mulai aspek HAM, hingga aspek keabsahan. Berikut beberapa dampak yang perlu menjadi renungan.

Dalam UU perlindungan anak, 17 tahun merupakan usia yang tergolong anak. Sedangkan dalam pasal 7 UUP no.1 tahun 1974 dikatakan usia 16 tahun bisa memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dari batasan umur saja, sudah terjadi ketidakselarasan. Jadi, jika perbup ini hendak diberlakukan, perlu dikaji ulang usia berapakah yang akan dikenai sanksi jika melanggar.

Saat ini, karena kemajuan zaman yang pesat, tidak hanya anak berumur 17 tahun saja yang menjalin hubungan ‘pacaran’ . jika memang, inghin mengadakan langkah preventif dari dampak negatif pacaran, hendaknya dikaji ulang mengenai sanksi dan batasan usia. Lalu, akan timbul masalah jika salah satu pihak tidak menginginkan pernikahan tersebut terjadi, atau orang tua masing-masing tidak merestui pernikahan tersebut terjadi.

Disebutkan dalam pasal 6 UUP, seorang yang belum mencapai usia 21 tahun untuk melangsungkan pernikahan harus atas persetujuan orang tuanya. Jika pada saat dikawinkan secara paksa, orang tua tidak setuju dan melanggar UUP demi ketertiban aturan perbup yang diberlakukan, bisa dipermasalahkan keabsahan dari perkawinannya itu sendiri.

Hal lain yang perlu dipahami dalam pelaksanaannya,akan timbul masalah mengenai kebebasan HAM . dalam pasal 10 ayat 2 UU HAM no.39 tahun 1999 disebutkan:
Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istteri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Disini, dapat kita tarik kesimpulan kedua calon mempelai pun harus sepakat, jika ada salah satu pihak yang belum siap akan pernikahan tersebut, bisa dipertanyakan juga keabsahan dari pernikahannya.

Timbul juga masalah, bagaimana jika pasangan yang dikawinkan secara paksa tersebut berbeda keyakinan? Akankah tetap dinikahkan secara paksa? Pernikahan beda agama yang sama-sama disepakati pun, tak pelak banyak menimbulkan masalah. Seperti yang kita ketahui, MK mengeluarkan putusan menolak mengesahkan pernikahan secara beda agama di Indonesia.

Hal tersebut akan bermasalah pula pada langkah administratifnya, bukan hanya pada keabsahannya saja. Kemudian ketiga, perlu ditelaah bahwa jangan sampai pada pelaksanaan di lapangan, banyak menimbulkan kendala. Disini juga perlu ditegaskan bagaimana pengertian pacaran tersebut. Jangan sampai pacaran tersebut hanya menjadi penilaian subyektif yang akhirnya timbul kesakahfahaman. Perlu ditegaskan, bagaimana dan sampai batas dimana pacaran yang akan terkena sanksi dinikahkan secara paksa tersebut. Jika mereka sudah menikah pun, mereka sah untuk memiliki keturunan secara hukum. Jika yang dinikahkan, masih usia sekolah dan memiliki keturunan. Maka, bagaimana upaya untuk jangan sampai putus sekolah?

Keempat, tak dipungkiri usia remaja adalah masa-masa labil yang cenderung emosi meningkat karena biasanya masih dalam tahap mencari jati diri. Usia pernikahan muda pun rentan perceraian. Jangan sampai, hal negatif dari berpacaran bisa berkurang namun justru angka perceraian meningkat.
Secara sosiologis, memang aturan ini bernilai positif guna mempertahankan nilai-nilai budaya timur. Namun, dari aspek yuridis tak bisa dipungkiri dalam pelaksanaannya akan banyak timbul kendala. Perlulah disini, dalam membuat perbup lebih memperhatikan segala unsur dan elemen-elemen yang terlibat di dalamnya. (*)

Penulis: Viorizza Suciani Putri

(Mahasiswi Semester 5, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*