BEKASI – Maraknya penggunaan media sosial (medsos) di masyarakat memberikan dampak yang luar biasa. Kecepatan informasi tidak bisa dibendung. Konten negatif mudah diterima oleh publik tanpa terverifikasi kebenarannya. Termasuk konten yang berbau Suku, Agama, Ras dan Kepercayaan (SARA).
Berangkat dari keprihatinan tersebut, Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Bekasi menggelar kegiatan Buka Bersama (Bukber) dan Silaturahmi Antar Tokoh Umat Agama yang bertajuk “Bersama Dalam Perbedaan Menciptakan Kerukunan”, Sabtu (02/06/2018), bertempat di Aula SMK Karya Pembaharuan Jl. Raya Pilar-Sukatani No.001, Sukaraya, Karang Bahagia.
“Bukber merupakan agenda rutin tahunan Ansor setiap Ramadan. Mengingat kondisi belakangan ini semakin memprihatinkan, melihat fenomena masyarakat kita yang seringkali termakan isu SARA di media sosial, baik Facebook atau group whatsupp Tahun ini kita kemas dengan temu tokoh antar agama,” jelas Sekretaris Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Bekasi, M Himawan Abror.
Masih kata Tholle sapaan akrab M Himawan Abror, kerukunan adalah salah satu elemen penting dalam berbangsa yang dijadikan pondasi untuk membangun bangsa supaya besar, berdaulat adil dan makmur.
Namun dalam perkembangan kekinian, tak dapat dipungkiri, dampak hoax (berita bohong) telah memecah belah persatuan dan kesatuan ditengah masyarakat. Penggunaan medsos tak lagi bijak. Medsos digunakan sebagai alat provokasi negatif. Mengancam persaudaraan sebangsa dan setanah air. Sikap yang mendepankan ‘paling benar’, ‘kafir dan tidak kafir’ telah mengoyak kebersamaan dan keutuhan berbangsa.
Keberagaman Dalam Bingkai NKRI
Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Pokja Toleransi, Irjen Pol. Drs. H. Sidarto Danusubroto dalam pemaparannya menjelaskan agama memandang manusia dan kemanusiaan beserta pluralitas yang ada di dalamnya dengan pandangan yang optimis.
Seluruh manusia dengan segala perbedaannya berasal dari sumber yang satu, yaitu: Adam dan Hawa (unity/kesatuan asal/Tunggal Ika), namun kehendak Tuhan juga yang kemudian menjadikan manusia berbeda-beda (Bhinneka).

SUASANA temu tokoh antar agama berlangsung hangat dengan topik keberagaman
Bhinneka Tunggal Ika inilah esensi dari Surah Al-Hujurat ayat 13. Inti tujuannya adalah agar saling berinteraksi secara positif, apresiatif dan simbiosis mutualistik. Atau dalam bahasa yang lebih lugas secara rukun dan bahagia. Kehendak Tuhan tentang pluralitas ini tidak terbatas pada ranah bangsa, etnik dan budaya, bahkan juga agama. Hal ini secara sangat eksplisit Tuhan firmankan, seperti di dalam Surah Yunus Ayat 99. Maka, menolak pluralitas agama sama dengan menolak kehendak Tuhan.
Menurut Sidarto, bangsa Indonesia harus bangga dan bersyukur karena Tuhan mempercayakan Indonesia sebagai wadah dari super keberagaman manusia, baik bahasa, etnis, budaya, bahkan agama.
“Tinggal bagaimana kita membuktikan kepada Tuhan bahwa titipan keberagaman seperti ini mampu kita jaga dan rawat dalam bingkai NKRI. Perbedaan yang ada ini tak perlu dilebur menjadi satu, tak boleh ada pemaksaan terhadap pihak-pihak yang berbeda untuk menjadi satu dalam keseragaman karena bangsa ini terbentuk dari keanekaragaman warna kebhinnekaan. Sebagai bangsa yang besar, justru inilah modal dasar yang tak ternilai. Masyarakat Indonesia yang majemuk dengan dinamika sosialnya tersebut dapat menjadi energy sosial yang konstruktif, yang apabila dipererat dengan nilai persatuan akan menjadi kekuatan,” kata Sidarto.
Selama ini, lanjut Sidarto, orang seringkali lupa bahwa Negara ini dapat bertahan selama 73 tahun karena pendiri bangsa secara bijak menyepakati Pancasila sebagai dasar negara, yaitu Negara kebangsaan, Negara berketuhanan, Negara yang pro-keberagaman.
“Banyak contoh di lain negara yang berdasarkan agama rawan mengalami konflik horizontal maupun konflik vertikal. Banyak negara-negara di Timur Tengah sekarang mengalami konflik ingin belajar dari Indonesia, sebagai Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam namun tetap compatible dengan system demokrasi. Banyak negara-negara maju di dunia, di sana menerapkan sikap hidup ‘berketuhanan’ yang bukan hanya sekedar ritual, namun dalam perilaku sehari-hari, terutama: nilai-nilai kejujuran, kerja keras, toleransi dan taat hukum,” jelas Sidarto.
Indonesia, sambung Sidarto, punya Pancasila sebagai dasar negara. Bangsa ini memerlukan panduan hidup untuk mengenal dan meyakini keberadaan Tuhan. Dengan mengenali dan meyakini keberadaan Tuhan, kehidupan bangsa ini diharapkan tumbuh mengikuti sifat-sifat ketuhanan yang penuh kasih sayang, berlandaskan kecerdasan spiritual. Pancasila merupakan norma dasar kita bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta pedoman satu-satunya dalam mendesain, menjalankan, dan mengelola secara berkesinambungan.
Saat ini, isu ekstrimisme dan radikalisme kian mengkhawatirkan. Hoax dan ujaran kebencian memenuhi media sosial yang berisi himbauan bernada provokasi dan hasutan berbasis SARA, yang dapat menimbulkan macam-macam potensi kegentingan, terutama kegentingan dalam kerukunan antar umat beragama di republik yang tegak di atas falsafah Bhinneka Tunggal Ika ini. Intoleransi memang tidak serta-merta agresif dan merusak, mulai dari mempersoalkan pengucapan hari raya bagi yang tidak seiman, pemilihan ketua RT yang harus dari agama tertentu dan hal-hal kecil yang mungkin kita anggap remeh lainnya. Namun perlu dicatat bahwa intoleransi adalah hulu dari radikalisme yang dapat berpotensi menjadi terorisme. Intoleransi adalah bahaya laten yang bisa sewaktu-waktu meledak apabila tidak ditangani serius sejak awal. Situasi semacam ini tentunya sangat berbahaya dan harus kita waspadai bersama.
Agama harus mampu memberikan nilai luhur kepada negara, dan Negara melindungi agama baik mayoritas maupun minoritas. Diperlukan adanya kesepakatan dan konsep yang matang dalam membina keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia untukmenghindari gesekan-gesekan dalam masyarakat. Pancasila sebagai living ideology dan working ideology harus terus dinyalakan kembali semangatnya. Perlu pendekatan secara cultural maupun edukatif untuk terus membangkitkan dan membumikan kembali Pancasila terutama kepada generasi muda.
Hadir dalam kesempatan itu, Staf Wantimpres Pokja Toleransi KH. Agus Salim, Waka Polresta Bekasi Kabupaten, AKBP Lutfie Sulistiawan, pemuka Katolik Romo Antoro, pemuka Hindu Andi Candra, pemuka Kong Hu Cu Siauw Keng Wie, pemuka Budha Dirman, MUI Bekasi KH. Faturahman dan dan KH Mubarok, Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kabupaten Bekasi, KH. Mahmudin, serta kader GP Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) serta tamu undangan, dengan total sekitar 600 an orang.

TAMU duduk lesehan ala kongkow sehingga lebih relaks
Acara ditutup dengan ramah tamah dan pemberian cinderamata berupa lukisan bergambar logo Ansor kepada para narasumber serta berbuka bersama dilanjutkan ibadah sholat Magrib berjamaah. (red)