CIREBON – Lagi-lagi deretan masalah menerpa RSUD Waled. Belum tuntas kasus korupsi yang tengah diusut para penegak hukum, pemberian insentif karyawan Rp 200 ribu per bulan yang dinilai tak manusiawi, kini masalah kembali meradang terkait pembangunan gedung Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Waled yang molor dari target.
Bahkan, pembangunan gedung yang menelan anggaran Rp 4,7 miliar itu, kini menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Temuan tersebut kini tengah dievaluasi oleh BPK dan akan dituangkan secara formal dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tahun 2017.
Sekedar mengingatkan, Direktur RSUD Waled dr. H. Budi Setiawan Soenjaya sempat mengumumkan optimismenya bahwa Januari 2018, gedung IGD baru RSUD Waled yang bersumber dari APBD Kab Cirebon tahun 2017, sudah bisa digunakan. “Insya Allah, Januari 2018 gedung ini sudah bisa langsung digunakan,” katanya dalam acara Safari Pembangunan Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadisastra Desember 2017 lalu.
Namun faktanya, hingga April 2018, gedung tersebut masih kosong mlompong dan sama sekali belum bisa digunakan untuk melayani masyarakat. Hal ini memicu pertanyaan dari sejumlah pihak, salah satunya sumber JP yang juga pemerhati program kesehatan. “Pertanyaannya, kenapa belum bisa digunakan? Padahal kan akhir tahun lalu, manajemen bilang bahwa awal 2018 IGD sudah dipakai. Ini sudah melenceng jauh dari target, ada apa ini,” ujarnya.
Sedangkan informasi lainnya menyebutkan bahwa molornya pengoperasian IGD RSUD Waled salah satunya karena pembangunan gedung baru itu jadi temuan serius BPK. “Iya betul, jadi temuan BPK, dan sekarang pihak RS sedang menunggu jawaban/hasil dari mereka (BPK-red),” jelas sumber yang sudah belasan tahun bekerja di RSUD Waled ini.
Sementara itu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek IGD RSUD Waled, Soleh Bastaman saat dikonfirmasi JP menjelaskan, bahwa keterlambatan pengoperasian IGD ini karena terhambat masalah pengadaan AC. “Pada saat RAB (rancangan anggaran bangunan) dari Rp 4,7 miliar itu tidak termasuk AC. Tapi kami sudah diwarning pak direktur dan kini sedang dihitung. Biayanya sekitar Rp 500 juta untuk AC, cukup mahal memang, karena dua lantai,” ungkap Soleh, Selasa (10/4/2018) saat ditemui JP dikantornya.
Terkait adanya temuan BPK pada proyek tersebut Ia membenarkannya. “Soal temuan BPK itu ada kesalahfahaman tentang pengukuran dan volume. Sudah kami klarifikasi ke BPK, hasilnya belum keluar, dan mereka akan datang lagi ke sini,” tegasnya.
Pihaknya menargetkan kembali, bahwa IGD baru bisa difungsikan pada Juni 2018 mendatang. Karena RSUD Waled akan membangun lagi gedung lainnya dengan tinggi 4 lantai. “Peralatan dan orang harus kita evakuasi semua ke gedung baru (IGD baru-red). Target kita sekitar bulan juni bisa dipakai. Prinsipnya kita juga ingin cepat, karena IGD akan kami gunakan untuk evakuasi itu,” terang Soleh.
Bau KKN RSUD Waled Terendus Laskar Indonesia
Menyikapi masalah ini, Ketua Umum Lembaga Advokasi Sosial Kanal Aspirasi Reformis (Laskar Indonesia) Koko Ali Permana menegaskan, bahwa pihaknya akan menyeriusi masalah ini dengan melakukan investigasi. “Kami akan lakukan investigasi, koordinasi dengan leading sektor terkait soal dugaan mark up pada proyek tersebut. Dan hasil investigasinya akan kami kirimkan kepada pihak yang berkepentingan termasuk penegak hukum, termasuk KPK,” jelasnya, Kamis (12/4/2018).
Pihaknya menilai, pembangunan gedung dua lantai itu dinilai terlalu mahal. Padahal sebelum pelaksanaan sudah melewati tahapan perencanaan yang matang. Harusnya, soal pengadaan AC yang tidak tertuang dalam RAB juga sudah difikirkan matang-matang sehingga tidak menjadi alasan molornya proyek tersebut.
“Anggaran Rp 4,7 miliar itu sangat fantastis. Rinciannya seperti apa? Karena dalam Undang-undang No 17 tahun 2006 dan Permendagri No 13 tahun 2006 Pasal 4 tentang azas umum pengelolaan daerah ada 10 azas yang harus dipenuhi yakni tertib, taat, efektif, efisien, ekonomis, transparan, bertanggungjawab, keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Apakah semua itu sudah tercover dalam proyek IGD di RSUD Waled ini. Jangan-jangan dengan Rp 2 miliar saja sudah cukup untuk membangun gedung semacam itu,” ulasnya.
Ia juga menambahkan, beberapa modus penyimpangan yang sering terjadi dalam penetapan dan pembahasan APBD yakni mark up, mark down, alokasi anggaran bertentangan dengan UU/peraturan yang berlaku, pemborosan anggaran, duplikasi, proyek, adanya proyek ganda, duplikasi alokasi anggaran, dan melanggar azas umum pengelolaan APBD. “Analisis saya, diduga proyek tersbut terinfeksi KKN,” pungkasnya. (crd/red)