KOTA BANDUNG – Sudah lebih dari dua tahun papan reklame berisi merek rokok terkenal bikinan Amerika Serikat itu berdiri menjulang di pinggiran perempatan Jalan Martanegara dan Jalan Pelajar Pejuang 45, Jalan Pasupati, Jalan Tman Sari, Kota Bandung. Sulit bagi para pengendara, terutama mereka yang melintas di Jalan Lodaya, untuk mengabaikan papan raksasa tersebut.
Sepanjang tahun 2016, sudah lebih dari empat kali naskah di papan reklame setinggi lebih dari 10 meter itu berganti-ganti tema. Pernah mereka beberapa kali memasang gambar cerah dengan tempelan kalimat-kalimat ‘nyeleneh’. Yang terakhir, papan tersebut menampilkan gambar sederhana yang didominasi warna gelap berupa bungkus rokok berikut nama mereknya.
Setidaknya begitulah Amin (35), salah seorang juru parkir, mengenali papan reklame tersebut. Ia bekerja di kompleks pertokoan tak sampai 30 meter jaraknya di seberang jalan. Yang membuatnya heran, tak pernah sekali pun ia tahu kapan para petugas mengganti naskah reklame.
“Tahu-tahu pagi hari saya lihat gambarnya sudah beda lagi. Tapi ya tetap rokok yang sama,” kata Amin ketika ditemui pada pertengahan Desember 2016 lalu. Amin bukan satu-satunya orang yang dibuat heran dengan keberadaan reklame rokok berukuran 5×10 meter di pinggiran Jalan Peta tersebut. Wawan Khaerullah, Kepala Bidang Perizinan V Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung, memiliki pengalaman yang mirip.
Wawan baru menjabat posisi Kepala Bidang yang membawahi perizinan reklame, trayek, usaha angkutan, dan parkir itu sejak dua tahun lalu. Ia ingat betul, sudah empat kali merekomendasikan penurunan naskah produk rokok dari papan reklame di Jalan Pelajar Pejuang 45 tersebut. Tim penertiban yang dipimpin Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung pun segera mengeksekusinya.
Reklame rokok dengan ukuran besar diharamkan di Kota Bandung sejak terbit Peraturan Wali Kota Nomor 1015 pada Oktober 2015 lalu. Dalam aturan tersebut, ditetapkan ukuran maksimal reklame rokok adalah 2×3 meter. Wawan berpegang pada aturan ini. Kalau masang di tengah kota, ya malu sendiri (saya). Ada beberapa titik di pinggiran, seperti Ujungberung, batas Cibaduyut, dan Rancamanyar. Kami cari yang jarang ditengok petugas Jalan Pelajar Pejuang 45 berstatus jalan provinsi, Izin pendirian tiang reklame dikeluarkan oleh pemerintah provinsi. Itu sebabnya sanksi maksimal yang bisa diberikan Pemkot Bandung adalah penurunan naskah. Namun, empat kali naskah rokok diturunkan, empat kali pula naskah baru dipasang lagi.
“Kalau titik reklame itu ada di jalan milik kota, sudah kami potong tiangnya,” ucap Wawan menahan geram. Ukuran papan reklame rokok di Jalan Pelajar Pejuang 45 merupakan ukuran maksimal yang diperbolehkan. Besaran pajaknya sekitar Rp 12 juta per tahun. Karena papan menampilkan iklan rokok, sesuai Perwal Nomor 1149 Tahun 2013, besaran pajak dikalikan tiga. Artinya, dari satu titik reklame rokok ilegal di Jalan PETA, Pemkot Bandung kehilangan potensi pajak Rp 36 juta per tahun.
Papan reklame rokok yang jaraknya tak lebih dari 50 meter dari markas Satpol PP itu bukan satu-satunya yang ilegal di Kota Bandung. Lewat penelusuran “PR” di beberapa ruas jalan utama di Kota Bandung, ditemukan puluhan titik reklame rokok lain yang terang-terangan melanggar aturan. Semua berdiri kokoh, seolah tanpa satu orang pun berani mengusik.
Di Jalan Surapati, tak jauh dari sudut Lapangan Gasibu di seberang kompleks Gedung Sate, dua reklame rokok berdiri di dua sisi jalan, menyambut pengguna jalan yang turun dari Jembatan Pasupati. Ukuran bidangnya sekitar 3×6 meter terpasang vertikal. Masih di jalan yang sama, di belakang kompleks Pusdai juga ditemui iklan rokok dengan ukuran yang kurang lebih sama. Di perempatan Jalan P.H.H. Mustofa bertengger pula reklame rokok dengan ukuran serupa. Reklame rokok yang lebih besar ada di perempatan Jalan Pahlawan. Bentuknya persegi panjang dengan ukuran sekitar 4×8 meter.
Di perempatan Jalan Pasir Kaliki dengan Jalan Sukajadi, reklama rokok terpasang horisontal dengan ukuran sekitar 4 x 8 meter. Sementara di sepanjang Jalan Sukajadi, sedikitnya ditemukan dua reklame rokok melebihi ukuran maksimal 2×3 meter yang terpasang vertikal.
Di wilayah barat Kota Bandung, beberapa baliho berukuran raksasa berisi iklan rokok ditemukan sedikitnya di dua lokasi: pertigaan Jalan Kopo-Jalan Terusan Pasir Koja dan simpang Jalan Pasirkoja-Jamika-PETA. Di Pertigaan Jalan Kopo-Terusan Pasirkoja, dua baliho raksasa berisi dua iklan rokok beda merek terpampang jelas menghadap arah Jalan Kopo. Menurut keterangan Siswanto (45), pengemudi becak di sekitar lokasi, papan baliho tersebut tidak pernah sepi dari iklan rokok.
“Gantinya cepat, sekitar 1-2 bulan sudah ganti yang baru. Tapi, semuanya iklan rokok, tidak pernah dipasang iklan yang lain,”ujar Siswanto yang sudah mangkal di lokasi tersebut sejak tiga tahun terakhir ketika ditemui Selasa, 20 Desember 2016 lalu.
Dalam setahun terakhir, Siswanto mengaku sedikitnya sudah tiga kali melihat penggantian naskah iklan rokok pada baliho tersebut. Biasanya, penggantian naskah dilakukan pukul 1 atau 2 dinihari, dikerjakan sedikitnya oleh empat orang.
Di simpang Jalan Pasirkoja-Jamika juga terpampang dua baliho raksasa berisi iklan rokok beda merek. Kedua baliho itu demikian strategtis letaknya: langsung menghadap Gerbang Tol Purbaleunyi. Di bagian selatan Kota Bandung, sama saja. Dua baliho berisi iklan rokok dengan merek yang berbeda berdiri tegak di Jalan Cibaduyut.
Kami menelusuri sepanjang Jalan Soekarno-Hatta dari simpang Buah Batu hingga bundaran Cibereum. Ada enam reklame rokok berukuran lebih dari 2×3 meter. Dua di antaranya nebeng di dua rumah makan terkenal yang letaknya saling berseberangan jalan. Di simpang Buah Batu, naskah rokok belum lama dipasang menggantikan iklan properti yang selama bertahun-tahun menguasai titik-titik reklame di kawasan tersebut. Ukurannya sekitar 4×8 meter. “Reklame rokok itu belum lama. Mungkin sekitar sebulan lalu,” kata Asep (39), salah seorang pedagang yang biasa manjajakan minuman di simpang tersebut.
Kepala Dinas Permakaman dan Pertamanan Kota Bandung Arif Prasetya mengaku sudah mengeluarkan rekomendasi penertiban reklame rokok ilegal di lebih dari 100 titik. Sebagian sudah ditindaklanjuti Satpol PP. Yang lain belum sempat dikerjakan. “Patokan kami jelas. Begitu Perwal dikeluarkan, artinya semua reklame rokok yang berukuran lebih dari 2×3 meter ilegal. Hanya harus diakui memang ada keterbatasan untuk menindak semua pelanggaran sekaligus,” ujarnya.
Kepala Satpol PP Kota Bandung Eddy Marwoto membantah adanya pembiaran reklame-reklame berisi iklan rokok yang tidak sesuai aturan. Petugas terus melakukan penertiban. Eddy menyebut keterbatasan sumber daya di Satpol PP sebagai salah satu kendala utama. Jumlah petugas lapangan yang ‘hanya’ 200 orang menyulitkan mereka menindak segera berbagai pelanggaran peraturan daerah, mulai dari pedagang kaki lima (PKL) hingga pelacuran. Eddy menyebut jumlah petugas lapangan ideal sebanyak 600 orang.
Selain keterbatasan petugas, alokasi dana penertiban yang dimiliki Satpol PP juga pas-pasan. Padahal untuk merobohkan satu tiang reklame, mereka membutuhkan biaya sedikitnya Rp 3 juta untuk menyewa alat berat. “Kami sadar ada keterbatasan-keterbatasan. Namun kami bekerja seoptimal mungkin bersama SKPD lainnya. Penertiban reklame, khususnya reklame rokok, terus dilakukan,” kata Eddy yang kehilangan jabatannya per Desember 2016.
Dalam pelantikan para pejabat sesuai aturan SOTK baru, Wali Kota Ridwan Kamil memutuskan memindahkan Eddy ke Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. “Di Bandung, kalau tidak ikut melanggar aturan, tidak bakal dapat jatah. Jadi orang tertib aturan justru susah sendiri,” kata Wid Sunarya, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Reklame Kota Bandung (IPRKB), awal Januari 2017.
Wid menuding buruknya manajemen pengelolaan reklame sebagai pangkal persoalan. Tindakan-tindakan penertiban yang dilakukan Pemkot Bandung masih terkesan tebang-pilih. Reklame rokok salah satu produk ditertibkan, tapi reklame produk lain dibiarkan. Itu yang membuat pengiklan dan produsen nekat melakukan pelanggaran.
Wid merupakan pimpinan PT Nata Sarana Internusa. Selain berbagai perusahaan bonafit, salah satu pelanggannya adalah sebuah produk rokok nasional. Diakui Wid, perusahaannya memiliki beberapa titik reklame rokok melanggar aturan yang masih kokoh berdiri di Kota Bandung. Ukurannya 4×6 meter.
“Kalau masang di tengah kota, ya malu sendiri (saya). Ada beberapa titik di pinggiran, seperti Ujungberung, batas Cibaduyut, dan Rancamanyar. Kami cari yang jarang ditengok petugas,” ucapnya. Aat Safaat Khodijat mengungkapkan pendapat serupa. Pemkot tidak konsisten dengan aturannya sendiri sehingga biro-biro reklame kebingungan menerjemahkan di lapangan. Ada yang main aman dengan tidak menerima iklan rokok, tapi ada yang nekat bermain kucing-kucingan.
“Pengusaha itu main untung-untungan saja dengan menerima iklan rokok. Kalau tidak ditertibkan ya syukur, kalau naskah diturunkan ya pasang lagi. Sudah telanjur dapat bayaran di awal,” katanya ketika ditemui awal Desember lalu.
Aat merupakan salah satu pengusaha reklame senior yang membidani kelahiran Asosiasi Pengusaha Reklame (Asper) Kota Bandung lebih dari satu dasawarsa silam. Asper, organisasi pengusaha reklame pertama yang lantas melahirkan beberapa organisasi sempalan. IPRKB, salah satunya.
Menurut Aat, ketidaktegasan penegakan aturan berimbas pada makin semrawutnya penyelenggaraan reklame di Bandung. Ini yang memicu munculnya belasan ribu reklame ilegal sehingga membuat persaingan usaha reklame sakit. “Usul saya, pemerintah tegas saja. Kalau mau membatasi (reklame rokok), ya batasi. Kalau mau melarang total, ya larang. Jangan setengah-setengah seperti sekarang,” tuturnya.
Aturan ukuran maksimal reklame rokok 2×3 meter tidak datang tiba-tiba. Lobi dan debatnya panjang. Aturan ini disebut-sebut sebagai kompromi setelah keinginan Pemkot Bandung, terutama Wali Kota Ridwan Kamil, melarang total reklame rokok, rontok. (*)
Sumber: pikiran rakyat